بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan:
Diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah adalah:
ما شاء اللهُ كان وما لم يشأ لم يكن
“Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Ia kehendaki tidak terjadi”
Namun dalam diriku terdapat sebuah syubhat, yaitu perbuatan hamba itu
ada karena kehendak Allah (dengan mengenyampingkan dahulu perihal
kehendak hamba). Jika seorang hamba berbuat maksiat, sebetulnya maksiat
yang ia lakukan itu atas kehendak Allah. Sehingga sebetulnya kehendak
hamba tidak punya peran diantara kehendak Allah dan perbuatan si hamba.
Maksudnya, kehendak si hamba itu, ada atau tidaknya tidak berpengaruh
karena sesuatunya atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak sesuatu
terjadi, maka si hamba akan berkehendak demikian lalu terjadilah. Jika
Allah tidak berkehendak, maka si hamba tidak akan berkehendak juga dan
lalu tidak terjadi.
Pertanyaan saya, apakah ini artinya hamba itu dipaksa oleh takdir
untuk melakukan kebaikan ataupun keburukan? Jika jawabannya ya, lalu
mengapa maksiat itu mendapat hukuman? Mohon penjelasan dari anda, semoga
Allah membalas anda dengan kebaikan. Permasalahan ini membuat saya
bingung.
Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:
Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam
semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai
rahmat bagi seluruh alam, juga kepada para sahabatnya, dan pengikutnya
hingga hari kiamat. Amma Ba’du.
Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan taufik kepada anda, sebelum saya menjelaskan masalah ini anda hendaknya membedakan antara qadha kauniy dan qadha syar’i.
Qadha kauniy adalah takdir, yang terjadi atas kehendak Allah yang
segala sesuatu tunduk pada kekuasaan-Nya. Dan setiap takdir pasti
memiliki hikmah. Allah berfirman:
إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia” (QS. al-Baqarah: 117)
وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. ar-Ra’du: 11)
maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala sudah lebih dahulu mengetahui apa
yang akan terjadi, dan ketika itu terjadi pasti sesuai dengan apa yang
Allah ketahui. Tidak ada seorang pun hamba yang dipaksa oleh takdir
Allah untuk melakukan ketaatan ataupun maksiat, dan tidaklah mereka
dikendalikan oleh takdir. Karena ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat Allah yang berupa inkisyaf (menyingkap yang belum terjadi) dan ihathah (pengetahuan atas segala sesuatu) bukan berupa taf’il (perbuatan) atau ta’tsir (hal yang menghasilkan perubahan). Dan qadha kauniy ini tidak diketahui oleh kita. Oleh karena itu, hamba Allah tidak dihisab berdasarkan qadha kauniy (yaitu karena tidak kita ketahui, -pent.). Namun dengan qadha kauniy ini hamba
Allah dituntut untuk bersyukur jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan
nikmat. Dan dituntut untuk bersabar jika ternyata ia ditakdirkan
mendapatkan keburukan. Oleh karena itu juga, kehendak dan ikhtiar hamba
tidak dilandasi oleh qadha kauniy.
Tidak demikian dengan qadha syar’i. Kehendak dan ikhtiar
hamba berkaitan dengannya. Pembebanan syariat kepada hamba, berupa
perintah dan larangan yang menjadi sumber pahala dan dosa juga dilandasi
oleh qadha syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan qadha syar’i ini
kepada kita melalui Rasul-Nya dan juga wahyu-Nya (al-Qur’an) untuk
menunjukkan yang halal dan yang haram, juga janji dan ancaman-Nya. Untuk
itu pula Allah memberikan kita kemampuan untuk menjalankannya. Qadha
kauniy terus berlaku pada setiap apa yang terjadi hingga hari kiamat,
qadha syar’i pun tidak lepas darinya. Artinya apa yang ada dalam qadha syar’i, segala sesuatu yang terjadi tetap tidak akan keluar dari qadha kauniy.
Oleh karena itu juga, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya untuk taat,
Ia memerintahkannya, dan tidak menginginkan hamba-Nya bermaksiat. Ia
melarangnya. Perintah dan larangan tersebut merupakan qadha syar’i yang
hamba dapat berkehendak untuk melakukannya atau tidak, dan tergantung
pada ikhtiarnya. Namun Allah Ta’ala sudah mengetahui sebelumnya bahwa
sebagian mereka akan berikhtiar untuk taat dan menjalani kebenaran, dan
sebagian mereka akan berikhtiar untuk menjalani jalan kesesatan dan
penyimpangan. Lalu Allah menetapkan pahala bagi orang yang taat dan
menetapkan dosa bagi orang yang menyimpang dari kebenaran, sebagai
bentuk qadha kauniy yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah.
Pengetahuan Allah ini bukanlah pemaksaan dan pengendalian akan apa yang
akan dilakukan si hamba dengan ikhtiar yang dilakukannya. Karena qadha
kauniy ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak boleh berdalih dengan
qadha kauniy atas maksiat dan ketidaktaatan yang ia lakukan. Dan tidak
ada seorang pun yang dapat berhujjah dengannya. Di sisi lain, seseorang
tidak boleh meninggalkan amal karena menggantungkan diri para iradah kauniyah yaitu takdir. Oleh karena itu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Beramallah! karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menggapai tujuan ia diciptakan”
lalu beliau membaca ayat:
فَأَمَّا مَن أَعْطَى
وَاتَّقَى، وَصَدَّقَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا
مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. al-Lail, 5-10). [HR. Bukhari 4949, Muslim 6903]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Takdir
bukanlah alasan bagi siapapun di hadapan Allah, juga di hadapan
makhluk-Nya. Andai boleh beralasan dengan takdir dalam melakukan
keburukan, maka orang zhalim tidak layak dihukum, orang musyrik tidak
diperangi, hukuman pidana tidak boleh dijatuhkan, dan seseorang tidak
boleh mnecegah kezhaliman orang lain. Semuga orang paham secara pasti
bahwa ini semua merupakan kerusakan, baik dari segi agama maupun segi
dunia” (Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra, 1/353)
والعلمُ عند الله تعالى،
وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى
آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا
-----
Penerjemah: Yulian Purnama
- sumber -
http://muslim.or.id/aqidah/takdir-dan-perbuatan-hamba.html