Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas -hafidzahullah-
Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa berpegang teguh dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya agama itu adalah nasihat. Oleh karena itu, mereka menasihati penguasa dan ummat ini dengan cara yang baik.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ،
وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah
nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai
Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Untuk
Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi
kaum Muslimin pada umumnya.” [1]
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi (wafat th. 1163 H) rahimahullah berkata:
“Nasihat kepada Allah maksudnya adalah agar seorang hamba menjadikan
dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang
Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan dan
penyerupaan, serta apa-apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allah mempunyai
sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan-Nya, dan seorang
muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan, dan
mengamalkan amalan zhahir dan batin yang Allah cintai dan menjauhi
apa-apa yang Allah benci dan dia cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh
Allah dan benci kepada apa-apa yang Allah benci, dan dia meyakini
apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran,
dan yang bathil itu sebagai suatu kebathilan, dan hatinya penuh dengan
cinta dan rindu kepada-Nya, ia bersyukur akan nikmat-nikmat-Nya dan
sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan takdir-Nya.” [2]
Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk nasihat kepada
Allah adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya
dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah. Adapun makna nasihat
kepada Allah adalah beriman kepada Allah, menafikan sekutu bagi-Nya,
tidak mengingkari sifat-sifat-Nya, mensifatkan Allah dengan sifat-sifat
yang sempurna dan mulia semuanya, mensucikan Allah dari semua
sifat-sifat yang kurang. Melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan
maksiat, mencintai karena Allah, benci karena-Nya, loyal (mencintai)
orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka kepada-Nya,
berjihad melawan orang kufur kepada-Nya, berjihad melawan orang yag
kufur kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya dan bersyukur atas segala
nikmat-Nya. [3]
Sedangkan nasihat kepada kitab-Nya menurut Syaikh Muhammad Hayat
as-Sindi rahimahullah adalah dengan meyakini bahwasanya Al-Qur-an itu
Kalamullah Ta’ala, wajib mengimani apa-apa yang ada di dalamnya. Wajib
mengamalkan, memuliakan, dan membacanya dengan sebenar-benarnya dan
mengutamakannya dari selainnya serta penuh perhatian untuk mendapatkan
ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah
Allah yang tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat
orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allah dan merupakan wasilah
bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan Allah. Dia sebagai
penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu, dan barangsiapa yang ingin
sampai di tujuan, maka harus menempuh jalannya, karena kalau tidak ia
pasti sesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan Kitab Allah,
niscaya mereka tidak akan meninggalkannya sedikit pun.[4]
Yang dimaksud dengan nasihat kepada Rasul-Nya, yaitu dengan meyakini
bahwa beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Allah
mengutusnya kepada para hamba-Nya agar beliau mengeluarkan mereka dari
segala kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka apa-apa yang
membuat mereka bahagia dan apa-apa yang membuat mereka sengsara,
menerangkan kepada mereka jalan Allah yang lurus agar mereka lulus
mendapatkan kenikmatan Surga dan terhindar dari kepedihan api Neraka,
dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta tidak ada
kesempitan di dadanya terhadap apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam putuskan. Tunduk serta patuh kepada beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam, seperti orang yang buta mengikuti petunjuk jalan yang awas
matanya. Orang yang menang adalah yang menang membawa kecintaan dan
ketaatan pada Sunnahnya dan orang yang rugi adalah orang yang terhalang
dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia taat kepada Allah dan barangsiapa
yang menentangnya, maka ia telah menentang Allah dan kelak akan
diberikan balasan yang setimpal. [5]
Sedangkan makna nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin, yaitu
nasihat kepada para penguasa mereka, maka ia menerima perintah mereka,
mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiyat, karena
tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada al-Khaliq.
Tidak me-merangi mereka selama mereka belum kafir, berusaha untuk
memperbaiki keadaan mereka, membersihkan kerusakan mereka, memerintahkan
mereka kepada kebaikan, melarangnya dari kemunkaran serta mendo’akan
mereka agar mendapatkan kebaikan. Karena dalam kebaikan mereka berarti
kebaikan bagi rakyat dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi
rakyat. [6]
Dan makna nasihat kepada kaum Muslimin pada umumnya adalah dengan
menolong mereka dalam hal kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan,
membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga
dari kesesatan, mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintai
untuk diri sendiri, dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba
Allah. Maka haruslah bagi seorang hamba untuk memandang mereka dengan
kacamata yang satu, yaitu kacamata kebenaran.” [7]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 55 (95)), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahih Ibni Hibban no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi (VIII/163), dan ini lafzah milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari radhiyallahu 'anhu.
[2]. Lihat Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 47-48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah. Cet. I-Daar Ramadi, th. 1415 H.
[3]. Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawy (II/38).
[4]. Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
[5]. Ibid, (hal. 48).
[6]. Ibid, (hal. 48).
[7]. Ibid, (hal. 48).
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 55 (95)), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahih Ibni Hibban no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi (VIII/163), dan ini lafzah milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari radhiyallahu 'anhu.
[2]. Lihat Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 47-48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah. Cet. I-Daar Ramadi, th. 1415 H.
[3]. Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawy (II/38).
[4]. Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
[5]. Ibid, (hal. 48).
[6]. Ibid, (hal. 48).
[7]. Ibid, (hal. 48).
- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/1443/slash/0/agama-adalah-nasihat/