Selasa, 18 Juni 2013

Apa Saja Udzur Yang Membolehkan Orang Berbuka Puasa ?

,
بسم الله الرحمن الرحيم





Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya : Apa saja udzur yang membolehkan orang berbuka puasa ?

Jawaban
:
Udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah : sakit, bepergian, seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an, termasuk udzur pula seorang perempuan yang hamil dan mengkhawatirkan keadaan dirinya dan janin yang dikandungnya. Termasuk udzur pula seorang perempuan yang sedang menyusui, dia khawatir kalau dia berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang disusuinya, juga saat seseorang membutuhkan untuk berbuka guna menyelamatkan orang yang diselamatkan dari kematian, misalnya dia mendapati seseorang tenggelam di laut, atau seseorang yang berada diantara tempat yang mengelilinginya yang di dalamnya ada api sehingga dia butuh –dalam penyelamatannya- untuk berbuka, maka dia di waktu itu boleh berbuka dan menyelamatkan dirinya.

Demikian pula apabila seseorang butuh berbuka puasa untuk menguatkannya dalam jihad fisabilillah, maka sesungguhnya keadaan ini menjadi sebab kebolehan berbuka baginya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada para sahabat beliau di dalam perang Fathu Makkah.


“Artinya: Sesungguhnya kalian pasti bertemu musuh besok, sedangkan berbuka puasa akan lebih menguatkan kalian, maka berbukalah kalian!”


Apabila didapatkan sebab yang membolehkan berbuka dan seseorang berbuka karenanya, maka dia tidak lagi berkewajiban menahan diri dari makan minum pada sisa harinya itu. Apabila ditetapkan bahwa seseorang boleh berbuka untuk menyelamatkan yang diselamatkan dari kematian maka dia tetap meneruskan keadaan berbuka (tidak puasa) walaupun sesudah penyelamatannya, karena dia berbuka dengan sebab dibolehkannya berbuka bagi dia sehingga tidak harus menahan diri dari makan minum ketika itu. Sebab keharaman hari itu telah hilang disebabkan kebolehan berbuka puasa.


Untuk ini kami akan mengatakan sebuah pendapat yang kuat tentang masalah ini; bahwa seorang yang sakit walau telah sembuh di pertengahan siang sedangkan dia dalam keadaan berbuka maka dia tidak harus menahan diri lagi, seandainya seorang musafir telah datang di kampung halamannya kembali di pertengahan siang dia tidak berkewajiban menahan diri (berpuasa) lagi, kalau seorang perempuan yang haidh telah suci di pertengahan siang maka dia tidak harus berpuasa lagi di sisa harinya; sebab mereka semuanya berbuka dengan sebab kebolehan berbuka sehingga hari itu sudah menjadi hak mereka, tidak ada lagi kewajiban puasa di dalamnya, karena adanya kebolehan syariat untuk berbuka di dalamnya sehingga mereka tidak wajib melanjutkan puasa.


Ini berbeda bila seseorang mengetahui masuknya bulan Ramadhan di pertengahan siang, maka wajib hukumnya menahan diri (tidak makan minum) seketika itu juga. Perbedaan antara keduanya cukup jelas, karena apabila bukti telah kuat di petengahan siang maka wajiblah atas mereka menahan diri di hari itu, akan tetapi mereka menjadi orang-orang yang memperoleh udzur sebelum tetapnya bukti masuknya bulan Ramadhan, dengan ketidak tahuan.


Karena inilah, seandainya mereka tahu bahwa hari ini sudah termasuk Ramadhan maka wajib atas mereka menahan diri, adapun sekelompok kaum yang lain diperbolehkan berbuka puasa berdasarkan ilmu mereka, ada perbedaan yang jelas antara mereka.


 
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah] 


- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/1957/slash/0 
Read more →

Senin, 10 Juni 2013

Adab Imam & Makmum dalam Shalat Berjama'ah

,
بسم الله الرحمن الرحيم



Oleh : Ustadz Armen Halim Naro


Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam:

hadits

Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.
[1]

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.

Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan juga Khulafa‘ ar-Rasyidin radhiyallâhu 'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam wafat.

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]

Akan tetapi –dalam hal ini– manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, sangat disayangkan masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh–.

Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca al-Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan.

Secara tidak langsung, –para imam seperti ini– menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.

Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu'amalah dengan riba, menipu dalam bermua'amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”.[3]

Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.

Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya? 
 
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah:[4]
  • Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
  • Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
  • Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan al-Qur'an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas'ud al-Badri radhiyallâhu 'anhu.
    Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: 

    hadits
     
    Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
    ialah yang paling pandai membaca Kitabullah.
    Jika mereka dalam bacaan sama,
    maka yang lebih mengetahui tentang sunnah.
    Jika mereka dalam sunnah sama,
    maka yang lebih dahulu hijrah.
    Jika mereka dalam hijrah sama,
    maka yang lebih dahulu masuk Islam
    (dalam riwayat lain: umur).
    Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain
    di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya).
    Dan janganlah duduk di tempat duduknya,
    kecuali seizinnya.[5]

  • Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu 'anhu disebutkan: 

    hadits
     
    Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka
    lebih satu jengkal dari kepala mereka:
    (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum
    yang membencinya...
    [6]

    Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullâh:
    ”Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
    Kebanyakan, kebencian yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan) karena Allâh, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh.
    (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab atau karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]

    Berkata Ahmad dan Ishaq:
    "Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum."[8]
     
Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
 
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat al-Humazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama‘a maalaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.

Ketiga: Mentakhfif shalat. 
 
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.[10]
 
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu : 

hadits
 
Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.
[11]

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
 
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]

Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
 
Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu 'anhu berkata:
”Adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
 
hadits
 
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.
[13]

Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu 'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, "Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!"[14]
 
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
 
Anas bin Malik radhiyallâhu 'anhu berkata:
“Adalah salah seorang dari kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah seorang dari kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu).”[15]
 
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar al-Anshari berkata, dari Anas radhiyallâhu 'anhu, "Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam?’ Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’."[16]

Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man radhiyallâhu 'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
  • Membiarkan celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allâh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allâh akan memutus (urusan)nya."[17]
  • Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
  • Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam:
     
    hadits

    Sesungguhnya Allâh dan MalaikatNya mendo’akan
    orang yang menyambung shaf.
    [18][19]

Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam. 
 
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
 
hadits
 
Hendaklah yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.
[20] 
 
Keenam: Membuat sutrah (pembatas)[21] ketika hendak shalat.
 
Hadits yang menerangkan hal ini sangat masyhur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallâhu 'anhuma:
 
hadits
 
Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.
[22]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
"Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun."[24]

Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
 
Imam Ahmad berkata:
”Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam memperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya."[25]
 
Kedelapan: Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.[26]

Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.
 
 
[1] HR Muslim no. 436.
[2] Kitab Mulakhkhasul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
[3] Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan al-Salman, halaman 249.
[4] Ibid, halaman 1/151.
[5] HR Muslim 2/133. Lihat Irwa‘ al-Ghalil 2/256-257.
[6] HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha, ”Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah radhiyallahu 'anhum. Berkata Shiddiq Hasan Khan, ”Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7] Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8] Lihat Dha‘if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9] Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba‘iah (empat raka‘at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh.
Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk, ”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
[10] Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim as-Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
[11] HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12] Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13] HR Muslim no. 436.
[14] Lihat Jami‘ Tirmidzi, 1/439; Muwaththa‘, 1/173 dan al-Umm, 1/233.
[15] HR Abu Ya‘la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
[16] HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
[17] HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib wa Tarhib, no. 495.
[18] HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
[19] Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20] HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[21] Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
[22] HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23] Fathul Bari, 1/572.
[24] HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25] Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254.
[26] “Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159) 

 
 
 - sumber -
(Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII)
Read more →

Malam Nisfu Sya'ban, Catatan Amal Ditutup ?

,
بسم الله الرحمن الرحيم




Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Apa keistimewaan bulan Sya’ban? Karena saya sering mendengar bahwa Allah menutup catatan perbuatan manusia dan menggantinya dengan catatan baru?
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Dari: Dian

Jawaban:
Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, kami tidak pernah menjumpai dalil maupun keterangan ulama bahwa buku catatan amal hamba ditutup di malam nisfu Sya’ban atau ketika bulan Sya’ban. Kami hanya menduga, barangkali anggapan semacam ini karena kesalah pahaman terhadap hadits, dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ

Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i 2357, Ahmad 21753, Ibnu Abi Syaibah 9765 dan Syuaib al-Arnauth menilai ‘Sanadnya hasan’). 

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, salah satu waktu, dimana amal para hamba dilaporkan adalah ketika bulan Sya’ban. Dan karenanya, beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. 

Kedua, penting untuk dicatat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan di tanggal berapa peristiwa pelaporan amal itu terjadi. Bahkan zahir hadits menunjukkan, itu terjadi selama satu bulan. Karena itulah, puasa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Sya’ban tidak pilih-pilih tanggal. Beliau juga tidak menganjurkan agar kita memilih pertengahan Sya’ban untuk puasa. Yang beliau lakukan, memperbanyak puasa selama Sya’ban. 

Untuk itu, siapa yang beranggapan dianjurkan memperbanyak ibadah ketika pertengahan Sya’ban, dengan anggapan bahwa ketika itu terjadi pelaporan amal, maka dia harus mendatangkan dalil. Tanpa dalil, berarti dia menebak perkara ghaib. Dan tentu saja, pendapatnya wajib ditolak. 

Kemudian, penting juga untuk kita perhatikan, hadits itu sedikitpun tidak menyebutkan adanya penutupan buku catatan amal. Beliau hanya menyampaikan ketika bulan Sya’ban terdapat pelaporan amal dan bukan penutupan catatan amal. 

Ketiga, tidak ada istilah penutupan buku amal dalam Islam. Karena kaum muslimin dituntut untuk selalu beramal dan beramal sampai ajal menjemputnya. Allah berfirman,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu al-Yaqin.” (QS. Al-Hijr: 99) 

Para ulama tafsir sepakat bahwa makna 'al-Yaqin' pada ayat di atas adalah kematian. Karena setiap manusia dituntut beramal dan beribadah selama akalnya masih berjalan. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan agar kita selalu menjaga iman, dengan istiqamah beramal. Ada seorang sahabat yang meminta nasehat kepada beliau. Yang nasehat ini akan selalu dia jaga selama hidupnya. Nasehat yang beliau sampaikan sangat ringkas,

قلْ آمنتُ بالله ثم استقم

"Katakan, Saya beriman kepada Allah, kemudian istiqmahlah." (HR. Ahmad 15416 dan sanadnya shahih). 

Dan yang namanya istiqamah, tentu saja tidak akan ada putusnya.

Al-Imam Ahmad pernah ditanya, ‘Kapan waktu untuk istirahat?’ beliau menjawab,

عند أول قدم نضعها في الجنة

“Ketika pertama kali kita menginjakkan kaki kita di surga.”

Sekali lagi tidak ada istilah istirahat beramal atau buku catatan amal ditutup sementara. Amal kita yang dihisab tidak hanya ketika nisfu Sya’ban, namun juga di bulan-bulan lainnya. Semoga Allah meringankan kita untuk terus istiqamah meniti jalan kebenaran. Aamiin..
Allahu a’lam

 
Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits


- sumber -
http://www.konsultasisyariah.com/malam-nisfu-syaban-catatan-amal-ditutup/
Read more →

Basmallah, Dibaca Keras atau Pelan ?

,
 بسم الله الرحمن الرحيم
 
 
 
 
Basmallah,
Dibaca Keras atau Pelan ?
(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X)
 

PERTANYAAN :
Mohon dibahas tentang lafazh “bismillahirrahmanirrahim” pada surat al-Fatihah dan surat lainnya. Dibaca keras ataukah pelan?
08132907xxxx

JAWABAN :
Para ulama berselisih pendapat tentang basmallah pada awal surat-surat di dalam al-Qur‘an, apakah termasuk al-Qur‘an dan termasuk surat itu, ataukah tidak?

Yang rajih (lebih kuat) –wallahu a’lam– bahwa basmallah pada awal semua surat di dalam al-Qur‘an termasuk ayat al-Qur‘an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan umat juga telah sepakat, bahwa semua yang ditulis para sahabat di antara dua sampul mushhaf itu adalah al-Qur‘an.

Dan juga (pendapat yang rajih), bahwa basmallah di awal surat itu tidak termasuk bagian dari surat tersebut, termasuk pada basmallah surat al-Fatihah. Sehingga ayat pertama dalam surat al-Fatihah adalah الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ sedangkan ayat keenam adalah صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, dan ayat ketujuh adalah غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ.

Para ulama juga berselisih, apakah imam mengeraskan basmallah ketika dalam shalat jahriyah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.

Pertama, disunnahkan dibaca pelan. Ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Ali, dan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar radhiyallâhu 'anhum. Juga pendapat al-Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur Ra’yi. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Begitu pula dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, beliau memilih pendapat ini.

Kedua, disunnahkan dibaca keras. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat Imam Syafi’i.
 
Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena dalil-dalilnya shahih dan tegas. Adapun pendapat kedua, sebagian dalilnya dha’if, sedangkan yang shahih tidak sharih (tegas) menunjukkan pendapat tersebut.

Berikut ini di antara dalil pendapat pertama :
 
hadits
 
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ.
(HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399;
tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)

Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullâh mengatakan: 
“Amalan ini dilakukan oleh para sahabat nabi radhiyallâhu 'anhum, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ. Tetapi (Imam) Syafi’i berkata : ’Makna hadits ini adalah, bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman, mereka semua membuka bacaan (shalat) dengan membaca al-Fatihah sebelum surat. Dan maknanya, bukanlah mereka tidak membaca basmallah. (Imam) Syafi’i berpendapat, (imam) memulai dengan basmallah dan mengeraskannya, jika dia mengeraskan bacaan’.”
(Sunan Tirmidzi, no. 246)
 
Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i rahimahullâh ini terbantahkan dengan riwayat lain, yang menegaskan bahwa mereka itu benar-benar memulai bacaan dengan hamdallah, dan tidak dengan basmallah. Yaitu tambahan yang ada pada riwayat Imam Muslim :
 
hadits
 
Dan mereka tidak menyebutkan pada awal bacaan (al-Fatihah, red),
dan tidak pula pada akhir bacaan (al-Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, red).
(HR Muslim, no. 399)

Juga pada riwayat yang lain, lebih tegas lagi disebutkan :
 
hadits
 
Dari Anas bin Malik, dia berkata:
“Aku shalat bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam,
dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman.
Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca basmallah.”
(HR Muslim, no. 399)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, setelah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar, dan memilih bahwa menurut Sunnah adalah membaca basmallah dengan pelan, beliau rahimahullâh berkata:
“Bersamaan dengan ini, maka yang benar (bacaan) yang tidak dikeraskan. Terkadang disyari’atkan untuk dikeraskan, karena mashlahat yang lebih kuat. Maka terkadang disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya) sebagai misal untuk pengajaran kepada makmum. Dan terkadang makmum boleh mengeraskan dengan sedikit kalimat. Seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat, karena takut menjauhnya (manusia) dari hal yang baik”.
(Majmu’ Fatawa, 22/436)

Perlu juga kita pahami, adanya perselisihan dalam masalah ini tidak boleh dibesar-besarkan, yang kemudian dapat menjadi sebab kebencian dan perpecahan umat. Wallahu a’lam.



- sumber -
Majalah as-Sunnah Edisi 04/ Tahun X
Read more →

.: Share This :.