Senin, 13 Januari 2014

Malu yang Tercela dan Terpuji

,
بسم الله الرحمن الرحيم




Malu pada dasarnya adalah sifat yang terpuji dalam Islam, karena dengan memiliki sifat malu seseorang terhindar dari berbagai perbuatan tercela. Namun adakalanya sifat malu itu tercela. Dalam artikel ini akan kita bahas kapan malu itu terpuji dan kapan malu itu tercela. 

Makna Malu 


Secara bahasa, al-hayaa-u (malu) artinya at-taubah wal himsyah, penuh taubat dan sopan santun (lihat Lisaanul Arab). Secara istilah syar'i, al-hayaa-u artinya,


خلق يمنحه الله العبد ويجبله عليه فيكفه عن ارتكاب القبائح والرزائل، ويحثه على فعل الجميل


"Sifat yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba sehingga membuatnya menjauhi keburukan dan kehinaan, serta menghasungnya untuk melakukan perbuatan yang bagus." (lihat Fathul Baari karya Ibnu Rajab, 1/102). 

Malu Itu Asalnya Terpuji


Malu adalah bagian dari iman, artinya tidak sempurna iman seseorang kecuali ia memiliki sifat malu. Dalam Shahihain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


الإيمانُ بِضعٌ وستونَ شُعبةً ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ


"Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman." (HR. al-Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35)

Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu juga disebutkan,


أن رسولَ اللهِ مر على رجلٍ من الأنصارِ وهو يَعِظُ أخاه في الحياءِ فقال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: دعْه فإن الحياءَ من الإيمانِ


"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seorang lelaki Anshar yang sedang menasehati saudara agar saudaranya tersebut punya sifat malu. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Biarkan ia, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman'." (HR. al-Bukhari no. 24 dan Muslim no. 36)


Rasulullah juga memutlakkan sifat malu dengan kebaikan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


الحياءُ لا يأتي إلَّا بخيرٍ


"Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan." (HR. al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)

Ini merupakan bukti tegas bahwa sifat malu itu asalnya terpuji.

Sifat Malu Adalah Sifat Para Nabi dan Orang Shalih

Para umat terdahulu sebelum di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mengenal dan menyadari bahwa sifat malu itu baik dan merupakan ajaran semua para Nabi terdahulu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:


إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى : إذا لم تستح فاصنع ما شئت


"Sesungguhnya diantara hal yang sudah diketahui manusia yang merupakan perkataan para Nabi terdahulu adalah perkataan: ‘jika engkau tidak punya malu, lakukanlah sesukamu'." (HR. al-Bukhari no. 6120).


Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun dikenal sebagai orang yang sangat pemalu. Sahabat Nabi, Imran bin Hushain mengatakan:


كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أشَدَّ حَياءً مِن العَذْراءِ في خِدْرِها


"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang lebih pemalu daripada para gadis perawan dalam pingitannya." (HR. al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 37)


Dan sifat malu ini juga merupakan sifatnya orang-orang shalih. Lihatlah bagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memuji Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu karena ia dikenal dengan sifat pemalunya sampai-sampai Malaikat pun malu kepada beliau. Nabi bersabda,


ألا أستحي من رجلٍ تستحي منه الملائكةُ


"Bukankah aku selayaknya merasa malu terhadap seseorang (Utsman) yang Malaikat saja merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401)


Dengan demikian sudah jelas bahwa sifat malu ini adalah hal yang semestinya dimiliki dan dijaga oleh setiap Muslim.

Malu Yang Tercela


Walaupun sifat malu itu terpuji, namun malu bisa menjadi tercela jika ia menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau melakukan sesuatu yang benar. Para salaf mengatakan:


لا ينال العلم مستحى و لا مستكبر


"Orang yang pemalu tidak akan meraih ilmu, demikian juga orang yang sombong."


Dan jika kita menelaah perbuatan salafus shalih, ternyata dalam hal-hal yang biasanya orang-orang malu melakukannya, mereka tidak malu jika itu demi mendapatkan ilmu agama atau demi melakukan yang benar dan terhindar dari kesalahan dan dosa. Sebagaimana kisah Ummu Sulaim radhiyallahu 'anha, beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:


يا رسولَ اللهِ ، إنَّ اللهَ لا يَستَحِي منَ الحقِّ ، فهل على المرأةِ غُسلٌ إذا احتَلَمَتْ ؟ فقال : ( نعمْ ، إذا رأتِ الماءَ


"Wahai Rasullah, sesungguhnya Allah itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah bersabda: 'ya, jika ia melihat air (mani)'." (HR. al-Bukhari no. 6121 dan Muslim no. 313).


Permasalahan mimpi basah tentu hal yang tabu untuk dibicarakan. Namun lihatlah, Ummu Salamah radhiyallahu 'anha tidak malu menanyakannya demi mendapatkan ilmu dan demi melakukan hal yang benar. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak mengingkarinya. Karena andai ia tidak bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentu ia tidak tahu bagaimana fiqih yang benar dalam perkara ini dan akan terjerumus dalam kesalahan.

Hal ini sebagaimana juga dalam hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, hadits dari 'Aisyah  radhiyallahu 'anha, beliau berkata:


إن رجلًا سأل رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عن الرجلِ يُجامِعُ أهلَه ثم يَكْسَلُ . هل عليهما الغُسْلُ ؟ وعائشةُ جالسةٌ . فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم إني لَأَفْعَلُ ذلك . أنا وهذه . ثم نغتسلُ


"Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang yang lain, yang ia berjima' dengan istrinya lalu mengeluarkan mani di luar ('azl), "Apakah ia wajib mandi?", tanyanya. Ketika itu ‘Aisyah duduk di samping Rasulullah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'sungguh aku melakukan itu, aku dan wanita ini (‘Aisyah). Lalu kami mandi'." (HR. Muslim no. 350)


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat tidak malu membahas hal yang sifatnya privat dalam rangka mengajarkan dan mendapatkan ilmu. Dalam kisah yang lain di Shahih Muslim juga, suatu hari sekelompok kaum Anshar dan Muhajirin berselisih pendapat mengenai batasan jima' yang mewajibkan mandi. Pihak kaum Anshar berpendapat bahwa tidak wajib mandi jika tidak ada mani yang keluar. Sedangkan pihak kaum Muhajirin berpendapat wajib mandi jika suami dan istri sudah bercampur badan, walaupun tidak keluar mani. Abu Musa al-Asy'ari melihat perselisihan ini mencoba menengahi dengan cara bertanya kepada istri Nabi, 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Abu Musa al-Asy'ari berkata kepada 'Aisyah: 

يا أماه ! ( أو يا أم المؤمنين ! ) إن أرد أن أسألك عن شيء . وإن أستحييك . فقالت : لا تستحي أن تسألني عما كنت سائلا عنه أمك التي ولدتك . فإنما أنا أمك . قلت : فما يوجب الغسل ؟ قالت : على الخبير سقطت . قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” إذا جلس بين شعبها الأربع ، ومس الختان الختان ، فقد وجب الغسل “


"Wahai Ibu (ibunya kaum mu'minin), aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu, tapi aku malu. 'Aisyah lalu berkata: 'Jangan engkau malu bertanya, jika engkau bertanya kepada ibu yang melahirkanmu, dan sesungguhnya aku ini ibumu juga.' Abu Musa lalu berkata: 'Bagaimana batasan jima' yang mewajibkan mandi?' 'Aisyah berkata: 'Engkau bertanya kepada orang yang tepat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'jika seseorang lelaki duduk diantara empat anggota badan istrinya, lalu dua kemaluan saling bertemu, maka wajib mandi'." (HR. Muslim no. 349)


Ummul Mu'minin 'Aisyah radhiyallahu 'anha, rasa malu tidak menghalanginya untuk mengajarkan ilmu agama kepada umat dan dengannya terkikislah perselisihan.


Demikianlah, seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa. Malu ketika akan melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada hakekatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syariat. Coba renungkan kembali makna malu yang disampaikan Ibnu Rajab rahimahullah di atas. Bahkan yang demikian adalah sifat lemah dan pengecut. Sifat pengecut ini tercela, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ


"Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut." (HR. Abu Dawud no. 2511, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 560)


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengajarkan kita berlindung dari sifat pengecut dan lemah. Beliau mengajarkan doa:


اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ ، وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ ، وَالْكَسَلِ ، وَالْبُخْلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَفَضَحِ الدَّيْنِ ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ


"Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan, kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang dan penindasan oleh orang-orang." (HR. at-Tirmidzi no. 3484, dishahihkan al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)

Kesimpulan

Sifat malu itu terpuji dan merupakan bagian dari iman. Seorang muslim hendaknya memiliki sifat ini, sehingga ia terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela dan dosa. Namun jangan sampai sifat malu menghalangi seseorang untuk menuntut ilmu, melakukan yang haq serta menjauhi kesalahan dan dosa.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat, wabillahi at taufiq wa sadaad.

________

Referensi: Mafaatiihul Fiqhi Fid Diin, karya Syaikh Musthafa al-'Adawi hafizhahullah, hal. 32-35, cetakan Maktabah Makkah

Penulis: Yulian Purnama
 
 

- sumber -
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/malu-yang-tercela-dan-terpuji.html
Read more →

Empat Orang yang Dilaknat Allah Ta'ala

,
بسم الله الرحمن الرحيم





Dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu 'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
 
hadist

Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang-tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid'ah).


TAKHRIJ HADITS

Hadits Riwayat,
  • Bukhari di Adabul Mufrad, Bab (8) man la'ana Allâh man la'ana walidaih, no. 17. 
  • Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al-Adhahi, no. 3657, 3658, 3659. 
  • An Nasa-i, dalam as-Sunan, kitab adh-Dhahaya, no. 4346, dan 
  • Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]

SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya, dan yang hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur'an dan Sunnah.

Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur'an :


Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)

Al-Qur'an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
"Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur'an dan yang semisal dengannya."

Al-Qur'an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :

(QS an Najm/53 : 3-4)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah 
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)

Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin 'Ash radhiyallâhu 'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sambil bertanya :
"Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?"
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjawab,
"Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar)," sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
 

Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-Qur'an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allâh Ta'ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam "Jawaami'ul Kalim", sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda :
"Aku diutus dengan jawaami'ul kalim."

Arti jawaami'ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami'ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda :

hadist

Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang-tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).

Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam sabda beliau :
"Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh."
Bagaimana seseorang bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :

(QS al An’am/6 : 162-163)

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)."
(QS al-An'am/6 : 162-163)

Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :

(QS adz Dzariyaat/51 : 56-58)

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz-Dzariyaat : 56-58)

Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu 'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :

"Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh, maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allâh."

Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allâh. Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
 

Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan."
Al-Muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid'ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba' (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam).

Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh, maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allâh serta diutus para rasul, melainkan karenanya.

Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid'ah, Pent). Tidaklah beliau Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu 'anhu bahwasanya dia berkata :
"Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya."

Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allâh Ta'ala telah berfirman tentang beliau :

(QS al Ahzab/33 : 21)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)

Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah (yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an-Nuur : 54)

Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh Ta'ala, dan inilah hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam serta hak agama-Nya.

Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam :
"Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya."

Berbakti kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara keduanya dengan baik. Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).

Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
"Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,"
Para sahabat bertanya,
"Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?",
Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjawab :
"Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya".

Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat sesuatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu.[2] Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar.

Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya."
(QS al-Isra' : 23)

Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.

Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu:
1. Hak Allâh
2. Hak Nabi
3. Hak nafs
4. Hak orang lain

Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain."
Maksudnya adalah seseorang yang melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?

Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

hadist

"Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim."

Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.

Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
"Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih besar dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan."
Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh.

Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam ketika berpesan kepada Mu'adz bin Jabal, beliau bersabda :
"Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik."
Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shalih atau thalih. Karena dengan akhlak yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak orang lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya (kepada kebenaran).[3]



(*)
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum'at Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari – hafizhahullah di Masjid al-Akbar Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib dan Kholid Syamhudi, kemudian kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi.
Semoga bermanfaat. (Redaksi)
[1]
Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi.
[2]
Redaksi : Hal ini seperti yang dilakukan oleh harakiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allâh Ta'ala firmankan tentang mereka ini :

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya."
(QS al-Kahfi : 103-104)

[3]
Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi)


- sumber -
http://majalah-assunnah.com/index.php/kajian/hadits/195-empat-orang-yang-dilaknat-allah-taala
Read more →

Kamis, 02 Januari 2014

Jangan Asal Berbicara Dalam Agama!

,
بسم الله الرحمن الرحيم
 


Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. al-Isra: 36)

Allah berfirman tentang Nabi Nuh ketika dia meminta agar anaknya diselamatkan:

"Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan temasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Hud: 46)

Allah berfirman ketika mencela ahli kitab:
"Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui. Maka mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Ali Imran: 66)

Dalam ayat pertama, Allah memberikan pengarahan kepada Nabi-Nya dengan etika yang sangat agung. Yaitu, tidak boleh mengatakan sesuatu tanpa ilmu dan tidak memperdalamnya (tanpa ilmu). Dalam ayat kedua, Allah melarang Nabi Nuh meminta sesuatu yang tidak ia ketahui. Dalam ayat ketiga, Allah mengingkari ahli kitab yang berargumentasi pada sesuatu yang tidak mereka ketahui. Hal itu dianggap sebagai kebodohan mereka. Kewajiban bagi orang yang tidak mengetahui adalah menahan diri untuk tidak berbicara mengenai hal itu secara dalam. Hendaklah ia tahu bahwa sikap seperti itu temasuk kebaikan dan bukan aib.


Para ulama salaf hingga sekarang menetapkan bahaya berbicara tanpa ilmu. Berikut beberapa perkataan mereka:


- Ibnu Jamaah rahimahullah berkata, "Jika dia mengatakan tentang apa yang tidak ia ketahui, maka ia berkata, 'Aku tidak tahu'. Sebagian mereka berkata, 'Aku tidak tahu adalah setengah dari ilmu'."


- Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Jika seorang alim salah (dengan tidak mengatakan) 'tidak tahu', maka ia telah tertimpa bencana."


Hendaknya seorang alim mewariskan "tidak tahu" kepada murid-muridnya, karena banyaknya apa yang ia ucapkan.


Jawaban orang yang ditanya "tidak tahu" sama sekali tidak merendahkan kedudukannya. Tidak seperti diperkirakan oleh sebagian orang bodoh. Bahkan hal itu mengangkat derajatnya. Karena itu, adalah bukti akan keagungan kedudukannya, kekuatan agamanya, ketakwaan kepada Rabb-nya, kesucian hatinya, kesempurnaan pengetahuannya dan keteguhannya yang baik.


Diriwayatkan dari kaum salaf, orang yang enggan mengatakan "tidak tahu" hanyalah orang yang lemah agamanya dan sedikit wawasannya. Karena dia takut jika harga dirinya jatuh dihadapan orang yang hadir. Ini adalah kebodohan dan ketipisan agama.


Bahkan kesalahannya itu tersebar di tengah masyarakat. Maka ia pun tejatuh ke dalam jurang yang sebelumnya ia jauhi. Ia akan mendapatkan label buruk yang selalu ia hindari.


Allah Ta'ala telah memberikan arahan kepada para ulama melalui kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir 'alaihimassalam, ketika Nabi Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah ketika ia ditanya, "Apakah di bumi ini ada seseorang yang lebih alim dari anda?"


Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, "Di antara kewajiban paling besar pada para guru adalah mengatakan: 'Allah lebih mengetahui terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui'. Ini sama sekali tidak mengurangi derajat kedudukan mereka, bahkan mengangkat derajat mereka. Ia juga merupakan dalil akan kesempurnaan agama dan usaha mereka untuk mencari kebenaran."


Ada banyak pelajaran dalam sikap diam tehadap sesuatu yang tidak diketahui:


-
Inilah kewajiban yang harus dilakukan
- Jika dia tidak berkomentar dan mengatakan "Hanya Allah yang lebih tahu", maka secepat mungkin ia akan mendapatkan ilmu tersebut dengan menelaah atau penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Karena ketika seorang murid melihat gurunya tidak menjawab, maka ia akan berusaha keras untuk menghadiahkan hal itu pada sang guru. Sungguh indah!
- Jika ia diam tehadap apa-apa yang tidak diketahui maka hal itu merupakan dalil bahwa ia terpercaya dan keteguhannya tehadap masalah-masalah yang ia yakini. Orang yang dikenal berani berbicara tehadap apa-apa yang tidak diketahui, maka hal itu menjadi faktor yang menyebabkan keraguan terhadap apa yang ia katakan, walaupun dalam masalah yang sudah jelas.
- Ketika para pelajar melihat seorang guru diam tehadap apa yang tidak ia ketahui maka hal itu merupakan pengajaran dan arahan akan jalan baik ini. Mengambil teladan dengan ucapan dan amalan lebih utama daripada berteladan hanya dengan ucapan.

- Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Jika seorang alim meninggalkan (kalimat) 'tidak tahu' maka ia telah tetimpa bencana."


- Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, "Ilmu itu ada tiga: kitab yang berbicara, sunnah yang telah lalu, dan tidak tahu."


- Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, "Di antara keilmuan seseorang bahwa ia mengatakan 'Hanya Allah yang Maha Tahu' tehadap apa yang tidak ia ketahui. Karena sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada Rasul-Nya:


"Katakanlah (hai Muhammad): 'Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku temasuk orang-orang yang mengada-adakan'."
(QS. Shad:86)

- Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Tidak segala hal harus dibicarakan."


- Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, "Ada lima hal, seandainya seseorang melakukan dengannya ke Yaman, niscaya semua itu menjadi pengganti atas perjalanannya:


1.
Tidak takutnya seorang hamba kecuali kepada Rabb-nya

2.
Tidak merasakan bahaya kecuali atas dosanya

3.
Orang yang tidak merasa malu mengatakan "Hanya Allah yang mengetahui", ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui

4.
Orang yang tak tahu tidak merasa malu belajar

5.
Kedudukan sabar dalam agama bagaikan kepala bagi jasad. Jika kepala terputus maka badan pun hancur

- Al-Qasim dan Ibnu Sirin rahimahumallah berkata, "Seseorang yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui."


- Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah berkata, "Seandainya dia diam terhadap apa yang tidak ia ketahui, niscaya akan sedikit perbedaan pendapat. Barangsiapa pendek kemampuannya dan sempit pandangannya dari berbagai perkataan para ulama ummat dan penelaahannya, maka ia tidak berhak sama sekali untuk berkata dalam hal yang tidak ia ketahui dan berkecimpung dalam hal yang tidak bermanfaat baginya. Orang yang seperti ini mestinya diam."


- Imam Malik rahimahullah berkata, "Semestinya seseorang itu tidak berbicara kecuali dalam hal yang ia pahami."


- Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia ditanya oleh seorang badui, "Apakah seorang bibi mendapatkan waris?"
Ibnu Umar menjawab, "Tidak tahu." Badui itu bertanya kembali, "Kamu tidak tahu?!" Ibnu Umar menjawab, "Ya, pergilah kepada para ulama dan tanyakanlah pada mereka."

- Seorang lelaki bertanya kepada Amr bin Dinar tentang satu masalah, lalu ia tidak menjawabnya. Orang itu berkata, "Sesungguhnya dalam diri saya ada sedikit jawaban tentangnya."
Lalu Amr bin Dinar berkata, "Jika dalam dirimu ada jawaban bagaikan gunung Abu Qubais, maka hal itu lebih aku sukai daripada yang ada dalam diriku hanya bagaikan seuntai rambut."

- Ibnu Mahdi berkata, "Seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang sesuatu. Dia terus-menerus datang dan mendesaknya. Lalu Imam Malik berkata, 'Masya Allah, aku tidak menjawab kecuali dalam hal yang menurutku ada kebaikan di dalamnya. Sekarang ini, aku sama sekali tidak memahami dengan benar masalahmu'."


- Muhammad bin Abdil Hakam berkata, "Aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang masalah nikah mut'ah: 'Apakah di dalamnya ada talak, pewarisan, atau nafkah yang wajib atau persaksian?' Lalu ia (Imam Syafi'i menjawab, "Demi Allah aku tidak tahu."


- Ketika Imam adz-Dzahabi berbicara tentang umur Salman al-Farisi, ia berkata: "Hematku ia tidak mencapai umur seratus tahun. Barangsiapa mengetahuinya maka kabarkanlah kepada kami. Abu al-faraj ibnul jauzi dan yang lainnya telah meriwayatkan tentang panjang usianya. Aku tidak mengetahui sedikitpun yang mengarak ke sana. Aku telah menuturkan dalam kitabku Tarikh al-kabir bahwa ia hidup selama 250 tahun! Sekarang ini aku tidak berpendapat demikian dan tidak menshahihkannya."


- Abu Ishaq berkata, "Telah sampai kepadak (sebuah berita) sesungguhnya seorang lelaki datang kepada Amr dan berkata, 'wajib kepadaku memerdekakan di antara anak-anak Ismail'.
Lalu ia berkata, "Aku tidak mengajarkannya kecuali kepada Hasan dan Husain." Adz-Dzahabi berkata, "Aku tidak memahaminya."

- Ibnu Uyainah berkata, "Dahulu Abu al-Husain jika ditanya tentang satu masalah maka ia berkata, 'Aku tidak memiliki ilmu tentang itu. Hanya Allah Yang Maha Tahu'."


- Ibnu Katsir menuturkan sebuah atsar dari Ali bin Abi Thalib dalam menafsirkan firman Allah:


"Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu."
(QS. an-Nisa:23)

- Ibnu Katsir berkata, "Guruku al-Hafizh Abu Abdillah adz-Dzahabi berkata, 'Sesungguhnya masalah ini ditanyakan kepada Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Lalu ia merasa kesulitan dan tidak menjawabnya. Hanya Allah jualah Yang Maha Tahu'."


- Al-Qasim bin Muhammad berkata, "Aku pernah belajar kepada al-Bahr Ibnu Abbas. Aku pernah belajar bersama Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Lalu banyak (menimba ilmu darinya). Di sana ada (pada diri Ibnu Umar) kewara'an, ilmu yang banyak dan sikap diam atas segala hal yang tidak diketahui."
 
_________
Temasuk di dalamnya adalah pengakuan Imam adz-Dzahabi bahwa ia tidak mengetahui (Lihat: Siyar A'lam an-Nubala XIII/41 dengan catatan kakainya, XIII/158).


Yang semisal dengannya adalah yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam mukaddimah kitabnya Hajjat al-Wada', hal. 13 dan 28.

Wallahu a'lam.
_________
Oleh: Andika al-Maidany

[Bimbingan Menuntut Ilmu, tulisan Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, tebitan pustaka at-Tazkia, Jakarta: Jumadil Ula 1427 H/Juni 2006 M]



- sumber -
http://syabaabussunnah.wordpress.com/2008/04/07/jangan-asal-berbicara-dalam-agama/
Read more →

Jadilah Kunci Kebaikan!

,
بسم الله الرحمن الرحيم


Oleh:
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr
 

Anas bin Malik berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ

"Sesungguhnya diantara manusia ada yang menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan. Namun ada juga yang menjadi kunci kejelekan dan penutup pintu kebaikan. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kebaikan melalui kedua tangannya. Dan celakalah bagi orang-orang yang Allah jadikan sebagai kunci kejelekan melalui kedua tangannya." (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)

Dan barangsiapa yang ingin dirinya menjadi kunci pembuka pintu kebaikan serta menjadi penutup pintu keburukan, maka hendaknya ia melakukan hal-hal berikut:
  1. Mengikhlaskan segala perbuatan dan perkataan hanya untuk beribadah kepada Allah. Karena hal tersebut adalah sumber kebaikan dan sumber kemuliaan seseorang.
  2. Berdoa kepada Allah agar diberi taufik menjadi seseorang yang membuka pintu kebaikan. Karena sesungguhnya doa adalah kunci segala kebaikan, dan Allah tidak akan menolak doa seorang hamba yang beriman yang memohon kepadanya.
  3. Bersemangat dalam menuntut ilmu dan memperdalamnya. Karena sesungguhnya ilmu mendorong seseorang kepada kebaikan dan kemuliaan, serta menghalangi dari perbuatan jelek dan kerusakan.
  4. Senantiasa beribadah kepada Allah, terlebih-lebih dalam hal-hal yang wajib. Dan lebih khusus dalam masalah shalat, karena shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
  5. Bersikap dengan akhlak yang mulia dan lemah lembut, serta jauh dari akhlak yang buruk dan tidak beradab.
  6. Berteman dengan orang-orang yang baik dan berkumpul dengan orang-orang shalih. Karena sesungguhnya dengan berkumpul bersama mereka, para malaikat akan menyelimutinya dan rahmat Allah akan mengelilinginya. Serta jauhilah perkumpulan orang-orang yang buruk dan jelek, karena mereka adalah pengikut para setan.
  7. Menasehati orang lain, baik yang dikenal atau tidak dikenal, agar menyibukkan mereka dengan kebaikan dan menjauhkannya dari kejelekan.
  8. Selalu mengingat akan hari akhir, dimana seorang hamba akan berdiri dihadapan Allah Ta'ala. Maka seseorang yang senantiasa berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan orang yang jelek dibalas dengan kejelekan pula, sebagaimana firman Allah Ta'ala, 
     
    فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ  وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

    "Barangsiapa yang mengerjakan amal perbuatan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan mendapatkan balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan amal kejelekann sekecil dzarrah, pasti ia akan mendapatkan balasannya." (QS. al-Zalzalah 7-8)
  9. Dan yang tidak kalah penting adalah seorang hamba senantiasa berharap agar mendapatkan kebaikan, serta berusaha memberi manfaat kepada yang lainnya. Sehingga apabila ia sungguh-sungguh berniat dan berharap akan mendapatkan kebaikan serta memohon kepada Allah akannya, maka dengan izin Allah, ia akan menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan.
 
Dan Allah Maha Kuasa atas hamba-hambanya untuk diberikan taufik dan dibukakan padanya pintu kebaikan bagi yang dikehendaki-Nya. Dan Allah-lah sebaik-baik Dzat yang membuka pintu kebaikan.

 ______
Penerjemah: Rian Permana 



- sumber -
http://www.al-badr.net/web/index.php?page=article&action=article&article=7
 http://muslim.or.id/nasehat-ulama/jadilah-kunci-kebaikan.html
Read more →

.: Share This :.