بسم الله الرحمن الرحيم
Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam
haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha'if. Allah Ta'ala telah
mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan)
hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih
wajib diamalkan, adapun hadits dha'if, wajib ditinggalkan. Seorang
muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah
hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits
tersebut shahih ataukah tidak?
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله
عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك
ولا الاسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به
ويعمل به قال لا يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح
يسال عن ذلك اهل العلم
"Saya
bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki
berbagai kitab yang memuat sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
perkataan para sahabat, dan tabi'in. Namun, dia tidak mampu untuk
mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits
yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan
memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa
dengannya? Ayahku menjawab, 'Dia
tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang
boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan
landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai
hal tersebut.'" (I'lam a-Muwaqqi'in 4/206).
Imam Muslim rahimahullah berkata, "Ketahuilah,
-semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits
dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi
spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah
pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat
mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan
beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun
temurun) dari masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga masa kita
sekarang." (at-Tamyiz hal. 218).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان
"Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja."
(Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
"Syari'at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari Nabi) dan hasan."
(Majmu' al-Fatawa 1/250)
Al-Anshari rahimahullah berkata, "Seorang
yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan
dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang
mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil,
maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti
ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia
boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai
hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui
seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh
berdalil dengan hadits tersebut." (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-'Iraqi).
----------
Diterjemahkan dari Ushul Fiqh 'ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.
Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi' ats-Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
- sumber -
muslim.or.id