بسم الله الرحمن الرحيم
Kesempatan
sebelumnya kita telah mengangkat pembahasan fikih puasa yaitu mengenai syarat wajib puasa. Kali ini kita akan melihat
pembahasan lainnya dari Matan al-Ghoyah wat Taqrib mengenai rukun puasa puasa.
Al-Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah kembali mengatakan,
“Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1)
niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari
hubungan intim (jima’), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.”
Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang beliau
sampaikan. Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan
diri dari berbagai pembatal puasa. Mengenai pembatal puasa tersebut akan
dibahas secara khusus pada fikih puasa selanjutnya. Sedangkan kali
ini kita akan melihat tentang masalah niat.
Pembagian Niat
Niat yang dimaksudkan adalah berkeinginan untuk menjalankan puasa. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga macam niat:
1. At-Tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.
Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Shubuh, maka
puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. an-Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini).
Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari asalkan
sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai
berikut,
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ «
هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuiku lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154 dan Abu Daud no. 2455).
Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Wajib berniat di malam
hari. Kalau sudah berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih
diperbolehkan makan, tidur dan jima’ (hubungan intim). Jika seseorang
berniat puasa Ramadhan sesudah terbit fajar Shubuh, maka tidaklah sah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 248).
2- At-Ta’yiin, yaitu menegaskan niat.
Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan dilaksanakan
harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa Ramadhan
yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekedar niatan puasa
mutlak. Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun puasa sunnah tidak disyaratkan ta’yin dan tabyit sebagaimana dijelaskan pada poin 1 dan 2. Dalilnya adalah sebagaimana hadits ‘Aisyah yang tadi telah terlewat.
3. At-Tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya.
Niat mesti ada di setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa hari
berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu
bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan
adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah
ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap
harinya. (Lihat al-Fiqhul Manhaji, hal. 340-341).
Niat Cukup dalam Hati
Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan, maka mudah kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.” Karena niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat.
Muhammad al-Hishni berkata,
لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف
“Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazhkan.”(Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Muhammad al-Khotib berkata,
إنما الأعمال بالنيات ومحلها القلب ولا تكفي باللسان قطعا ولا يشترط التلفظ بها قطعا كما قاله في الروضة
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat
letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan
melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam ar-Roudhoh.” (Al-Iqna’, 1: 404).
Itulah rujukan dari kitab Syafi’i mengenai masalah niat. Adapun memakai niat puasa dengan lafazh ‘nawaitu shouma ghodin …’, maka itu tidak ada dalil yang mendukungnya untuk dilafazhkan. Masalah melafazhkan niat tidak terdapat hal tersebut dalam kitab shahih maupun kitab sunan, padahal masalah tersebut adalah masalah ibadah, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
- Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin al-Husain al-Ashfahani asy-Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
- At-Tadzhib fii Adillati Matan al-Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa al-Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
- Al-Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad al-Khotib, terbitan al-Maktabah at-Tauqifiyah.
- Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min al-Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
- Al-Fiqhu al-Manhaji, Prof. Dr. Musthofa al-Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, di Jum’at pagi, 5 Sya’ban 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
- sumber -
http://muslim.or.id/ramadhan/fikih-puasa-2-rukun-dan-niat-puasa.html#