بسم الله الرحمن الرحيم
Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau dalam
kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Karena konsekuensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau adalah
selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau . Allah
berfirman:
{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka
ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali
‘Imran:31).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata:
“Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap
orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti
jalan (sunnah) Rasulullah, maka dia adalah orang yang berdusta dalam
pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat
dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaannya.”[1]
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata: “Ketahuilah
bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya
dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak
dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti
nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah
adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya.
Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah yang utama adalah (dengan)
meneladani beliau, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan
perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya,
serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan),
dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[2]
Kedudukan dan keutamaan sunnah Rasulullah dalam Islam
Sunnah Rasulullah, yang berarti segala sesuatu yang
bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan
beliau [3],
memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah sendiri
yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah, dalam
firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” (QS al-Qalam:4).
Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri
Rasulullah, Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, ketika beliau ditanya tentang
ahlak (tingkah laku) Rasulullah, beliau menjawab: “Sungguh akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an”.[4]
Ini berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling
sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan
hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[5]
Demikian pula dalam firman-Nya :
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS
al-Ahzaab:21).
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan
keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah sendiri yang
menamakan semua perbuatan Rasulullah sebagai “teladan yang baik”, yang
ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah berarti
dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah.[6]
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata: "Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani
Rasulullah dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau."[7]
Kemudian firman Allah Ta'ala di akhir ayat ini
mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu
keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kesempurnaan
iman kepada Allah 'Azza wa Jalla dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan
kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah merupakan
pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna
ayat di atas berkata: "Teladan yang baik (pada diri Rasulullah ) ini,
yang akan mendapatkan taufik (dari Allah ) untuk mengikutinya hanyalah
orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di
hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta
pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah
yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah."[8]
Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah,
sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu
berusaha mengamalkan sunnah beliau, terlebih lagi sunnah yang telah
ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau bersabda:
((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari
sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan
mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya,
dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun.”[9]
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi
orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang
telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu Majah
mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab:
(keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah
ditinggalkan (manusia).[10]
Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang
menghidupkan sunnah Rasulullah akan mendapatkan dua keutamaan (pahala)
sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan
menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata:
“Sesungguhnya sunnah Rasulullah jika semakin dilupakan, maka
(keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang
mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu
sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan
manusia.”[11]
Semangat para ulama Ahlus Sunnah dalam meneladani Sunnah Nabi
Para ulama Ahlus Sunnah adalah sebaik-baik teladan
dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang
sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta'ala memuliakan mereka.
Sampai-sampai Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam
ucapannya yang terkenal pernah berkata: “Kalau kamu mampu untuk tidak
menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah) maka
lakukanlah!”[12]
Demikian pula ucapan Imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i[13]:
“Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah) maka
amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang
mengerjakannya.”[14]
Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama
tersebut.
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata: “Orang
muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai
para pencinta sunnah (Rasulullah ), karena sesungguhnya kalian adalah
orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia).”[15]
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah sangat
mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pujian yang tinggi.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[16]: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[17]
adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus Sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau
adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) di
jamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku
satu sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka
(ketika) seorang ulama Ahlus Sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham
(kelompok terbesar/Ahlus Sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau
orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian
mengikuti as-sawaadul a’zham“[18], ulama tersebut menjawab: "Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham."
Kemudian Ibnul Qayyim berkata: “Demi Allah, benar
(ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu jaman, ada
seorang yang memahami sunnah (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru
(manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus Sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus Sunnah), dan dialah sabilul mu’minin
(jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri
darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam
kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam
neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”[19].
Senada dengan ucapan di atas, Imam Ahmad bin Hambal
berkata: “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali aku
telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadits Nabi bahwa
beliau pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu
Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah)
satu dirham kepada tukang bekam.”[20]
Bahkan para ulama Ahlus Sunnah, jika mereka mendapati
satu sunnah Rasulullah yang belum mereka ketahui dan amalkan
sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan
musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada Imam
Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah yang
belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[21].
Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa
orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak
mengamalkan sunnah Rasulullah dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena
pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah ada satu
bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang
menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula
keimanannya.[22] Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi
(kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu.” (QS al-Anfaal:24).
Peringatan dan nasehat penting
Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus Sunnah
di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim jaman sekarang,
maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena
orang-orang muslim jaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan
petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja, adapun anjuran dan
adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat
meneladaninya.
Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk
melaksanakan satu sunnah Rasulullah, bukannya berusaha segera
mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang
menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya
wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa
jika ditinggalkan…”.
Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan
sikap para ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat
mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, para ulama Ahlus Sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang
bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan
yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang
terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) maka ini
(menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamanya, apalagi kalau
dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak
menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman
dalam sabda Rasulullah : “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku
maka dia bukan termasuk golonganku”[24].
Dulunya para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti
(petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang
bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan
amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua
(jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan
keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan
(kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan
dengan) konsekuensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi
perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan
hukuman (karena) meninggalkannya”[25].
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-’Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini,
dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26],
bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut
dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan
oleh Allah dalam firman-Nya:
{وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ
يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ
يَعْمَهُونَ}
“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka
sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka
bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110).
Mirip dengan kasus di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-’Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang
kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka
dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan
sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin
memberatkan/membebani mereka. Maka Syaikh al-’Utsaimin berkata: “Orang
yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa
menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang
yang menyembunyikan ilmu[27],
karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat)
hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia
menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran,
barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan
barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan
bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak
menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut
memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi
Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah sendiri menjelaskan kepada umatnya
hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka
sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa
kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam) hal-hal yang
wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan
hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka
dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28]
Penutup
Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus Sunnah dalam
mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari
keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih
keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan
Allah ketika kita mengahadap-Nya nanti?
Renungkanlah firman Allah Ta'ala berikut:
{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}
“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya.” (QS al-Israa:71)
Imam Ibnu Katsir berkata: "Salah seorang ulama salaf
berkata: 'Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi
orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), karena imam
(pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam'".[29]
Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus Sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30],
ketika beliau ditanya: “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari
dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”, maka
beliau menjawab: “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk
ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah?”[31]
Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada
kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai
di akhir hayat kita, Aamiin.
Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah [32]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
KotaNabi , 9 Dzulqa’dah 1430 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[2] Kitab “asy-Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).
[3] Lihat kitab “Taujiihun Nazhar ila Ushuulil Atsar” (1/40).
[4] HSR Muslim (no. 746).
[5] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[9]
HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi
hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh
karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan
Ibnu Majah” (no. 173).
[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[11] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[12] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/216).
[13]
Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari kalangan Atba’ut Tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat
kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 381).
[14] Dinukil oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/219).
[16] Kitab “Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidisy Syaithaan” (1/70).
[17]
Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Abul Hasan
al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam
“Siyaru a’laamin nubala’” (12/195).
[18]
HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena
dalam sanadnya ada Abu Khalaf Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah
seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat
kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh
al-’Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.
[19] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS an-Nisaa’:115.
[20] Dinukil oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/220).
[21] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).
[22] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawaid” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[23] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[24] HSR al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).
[25] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).
[26] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya wa Taujiihaat li Tullaabil 'Ilmi” (1/55-57).
[27] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[28] Liqa-aatul Baabil Maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.
[29] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).
[30]
Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 166).
[31] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu Daaris Sa’aadah” (1/74).
[32] Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349)
- sumber -
http://manisnyaiman.com/menghidupkan-sunnah-rasulallah/