Senin, 22 Juli 2013

Rukun dan Niat Puasa

,
بسم الله الرحمن الرحيم





Kesempatan sebelumnya kita telah mengangkat pembahasan fikih puasa yaitu mengenai syarat wajib puasa. Kali ini kita akan melihat pembahasan lainnya dari Matan al-Ghoyah wat Taqrib mengenai rukun puasa puasa.

Al-Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah kembali mengatakan,
Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jima’), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.”

Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang beliau sampaikan. Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan diri dari berbagai pembatal puasa. Mengenai pembatal puasa tersebut akan dibahas secara khusus pada fikih puasa selanjutnya. Sedangkan kali ini kita akan melihat tentang masalah niat.

Pembagian Niat

 

Niat yang dimaksudkan adalah berkeinginan untuk menjalankan puasa. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ 

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga macam niat:
1. At-Tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.
 
Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Shubuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. an-Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini).
 
Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari asalkan sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuiku lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154 dan Abu Daud no. 2455).

Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Wajib berniat di malam hari. Kalau sudah berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih diperbolehkan makan, tidur dan jima’ (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadhan sesudah terbit fajar Shubuh, maka tidaklah sah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 248).
2- At-Ta’yiin, yaitu menegaskan niat.
 
Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan dilaksanakan harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa Ramadhan yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekedar niatan puasa mutlak. Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Adapun puasa sunnah tidak disyaratkan ta’yin dan tabyit sebagaimana dijelaskan pada poin 1 dan 2. Dalilnya adalah sebagaimana hadits ‘Aisyah yang tadi telah terlewat.
3. At-Tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya.
 
Niat mesti ada di setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa hari berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap harinya. (Lihat al-Fiqhul Manhaji, hal. 340-341).

Niat Cukup dalam Hati

 

Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan, maka mudah kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.” Karena niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat.

Muhammad al-Hishni berkata,

لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف

Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazhkan.”(Kifayatul Akhyar, hal. 248).

Muhammad al-Khotib berkata,

إنما الأعمال بالنيات ومحلها القلب ولا تكفي باللسان قطعا ولا يشترط التلفظ بها قطعا كما قاله في الروضة

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam ar-Roudhoh.” (Al-Iqna’, 1: 404).

Itulah rujukan dari kitab Syafi’i mengenai masalah niat. Adapun memakai niat puasa dengan lafazh ‘nawaitu shouma ghodin …’, maka itu tidak ada dalil yang mendukungnya untuk dilafazhkan. Masalah melafazhkan niat tidak terdapat hal tersebut dalam kitab shahih maupun kitab sunan, padahal masalah tersebut adalah masalah ibadah, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
  1. Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin al-Husain al-Ashfahani asy-Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  2. At-Tadzhib fii Adillati Matan al-Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa al-Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
  3. Al-Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad al-Khotib, terbitan al-Maktabah at-Tauqifiyah.
  4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min al-Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
  5. Al-Fiqhu al-Manhaji,  Prof. Dr. Musthofa al-Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, di Jum’at pagi, 5 Sya’ban 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal




- sumber -
http://muslim.or.id/ramadhan/fikih-puasa-2-rukun-dan-niat-puasa.html#
Read more →

Hal-Hal yang Dibolehkan Ketika Puasa

,
بسم الله الرحمن الرحيم
 

 
1. Gosok gigi di siang hari ketika puasa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

“Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk gosok gigi setiap wudhu.” (HR. al-Bukhari)

Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya:

و كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْتَاكُ أَوَّلَ النَّهَارِ وَآخِرَه

Dulu Ibn Umar bergosok gigi di pagi hari maupun sore hari. (HR. al-Bukhari secara muallaq)

Catatan: bolehkah menggunakan pasta gigi?

Syaikh Ibn Baz pernah ditanya tentang hukum menggunakan pasta gigi. Beliau menjawab: “Tidak masalah, selama dijaga agar tidak tertelan sedikitpun.” (Fatwa Syaikh Ibn Baz, 4/247)

2. Keramas untuk mendinginkan badan.

كان صلى الله عليه وعلى آله وسلم يصب الماء على رأسه وهو صائم من العطش أو من الحر

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyiramkan air ke atas kepala beliau ketika sedang puasa, karena kehausan atau terlalu panas. (HR. Ahmad, Abu Dawud dengan sanad bersambung dan shahih)

وكان ابْنُ عُمَرَ -رضى الله عنهما- بَلَّ ثَوْبًا ، فَأَلْقَاهُ عَلَيْهِ، وَهُوَ صَائِمٌ.

Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah membasahi pakaiannya dan beliau letakkan di atas kepalanya ketika sedang puasa. (Riwayat al-Bukhari secara muallaq)

Semakna dengan hadits ini adalah orang yang berenang atau berendam di air ketika puasa.

3. Bercelak dan menggunakan tetes mata.

Al-Bukhari menyatakan dalam Shahiih-nya:

ولم ير أنس والحسن وإبراهيم بالكحل للصائم بأساً

Anas bin Malik, Hasan al-Bashri, dan Ibrahim berpendapat bolehnya menggunakan celak. (Shahih Bukhari, bab Bolehnya orang yang berpuasa mandi)

4. Suntikan selain infus.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan puasa. (Majmu’ al-Fatawa, 25/234). Karena pada asalnya, suatu perbuatan itu tidak membatalkan puasa kecuali jika ada dalilnya. Dan tidak diketahui adanya dalil tentang menggunakan suntikan. Maka barangsiapa melarang atau membencinya maka wajib mendatangkan dalil. Karena haram dan makruh adalah hukum syariat yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil. Allahu A’lam

5. Mencicipi makanan.

Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:

لَا بَأسَ أَن يَذُوق الخَلَّ أو الشَيءَ مَا لَـم يَدخُل حَلقَه وهو صائم

Orang yang puasa boleh mencicipi cuka atau makanan lainnya selama tidak masuk ke kerongkongannya. (HR. al-Bukhari secara muallaq)

6. Mengambil darah untuk tujuan analisis atau donor darah, jika tidak dikhawatirkan melemahkan badan.

Dibolehkan mengambil darah untuk tujuan analisis atau donor, jika tidak dikhawatirkan membuat badan lemah. Jika pendonor khawatir lemas maka sebaiknya tidak donor siang hari, kecuali karena darurat.

Dari Tsabit al-Bunani, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya:

أكنتم تَكرَهون الحِجَامة للصائم

"Apakah kalian dulu membenci bekam ketika puasa?" Anas menjawab, "Tidak, kecuali jika menyebabkan lemah." (HR. al-Bukhari)

Hukum dalam masalah ini sama dengan hukum berbekam. Dan terdapat riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam. (HR. al-Bukhari)

7. Berbekam.

Dulu, berbekam termasuk salah satu pembatal puasa kemudian hukum dihapus, berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَبِـيّ صلى الله عليه وسلم احتَجَمَ وَهُو صَائِم

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam ketika sedang berpuasa. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)

8. Berkumur dan menghirup air ketika wudhu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berkumur dan menghirup air ke dalam hidung ketika wudhu, hanya saja beliau melarang untuk menghirup terlalu keras ketika puasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وبَالِغ فِي الاِستِنشَاق إلا أَن تكُون صائماً

“Bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke dalam hidung, kecuali jika kalian sedang berpuasa.” (HR. Pemilik kitab Sunan -Ashabus Sunan- dengan sanad shahih)

Hadits ini menunjukkan bahwa berkumur juga disyariatkan ketika berpuasa.

9. Mencium dan bercumbu dengan istri.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لأَرَبِه

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya ketika puasa, namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

هَشَشتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ

Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata: "Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini, aku mencium sedangkan aku puasa." Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتُ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?” Aku jawab: "Boleh." Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lalu kenapa mencium bisa membatalkan puasa?” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth)

Dalam hadits Umar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal puasanya.

10. Masuk waktu subuh dalam kondisi junub (belum mandi).

Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ النَّبِـي صلى الله عليه وسلم كَانَ يُدرِكُه الفَجرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِن أَهلِه ثُـمَّ يَغتَسِل وَيَصُوم

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk waktu subuh dalam keadaan junub (belum mandi) karena berhubungan suami istri, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

11. Menggunakan minyak wangi dan minyak rambut.

Bau harum merupakan satu hal yang disukai dalam Islam, lebih-lebih ketika hari Jum’at, berdasarkan hadits terkait jum’atan:

..وليمس من طيب أهله ويدهن

“…hendaknya dia menggunakan minyak wangi istrinya dan memakai minyak rambut.”

Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

“Jika kalian berpuasa maka hendaknya masuk waktu subuh dalam keadaan meminyaki dan menyisir rambutnya.” (Riwayat al-Bukhari tanpa [menyebutkan] sanad). Ibn mas’ud juga mengatakan:

اصبحُوا مُدّهِنِين صِيامًا

“Ketika masuk pagi, gunakanlah minyak rambut pada saat puasa.” (HR. at-Thabrani dan perawinya perawi shahih)

Allahu a’lam.
 
 
 
- sumber -
http://www.konsultasisyariah.com/hal-hal-yang-dibolehkan-ketika-puasa/#
Read more →

Sabtu, 06 Juli 2013

Syarat Wajib Puasa

,

بسم الله الرحمن الرحيم




Sebentar lagi insya Allah kita akan memasuki bulan Ramadhan di mana kaum muslimin akan menjalani puasa yang wajib ketika itu. Tentu saja sebelum memasukinya ada persiapan ilmu yang harus kita miliki. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ al-Fatawa, 2: 382). Jadi biar ibadah puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa tersebut dengan ilmu.

Kali ini kami akan mengangkat pembahasan puasa dari kitab fikih Syafi’i yang sudah sangat ma’ruf di tengah-tengah kita yaitu kitab Matan al-Ghoyah wat Taqrib, disebut pula Ghoyatul Ikhtishor, atau ada pula yang menyebut Mukhtashor Abi Syuja’. Kitab ini disusun oleh Ahmad bin al-Husain al-Ashfahani asy-Syafi’i (hidup pada tahun 433-593 H). Lalu matan tersebut akan dijelaskan dari penjelasan ulama lainnya.

Al-Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Abi Syuja’ mengatakan:
Ada empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa.


Pengertian Puasa

Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al-imsak) dari sesuatu. Hal ini masih bersifat umum, baik menahan diri dari makan dan minum atau berbicara. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam,

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا

Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS. Maryam: 26). Yang dimaksud berpuasa yang dilakukan oleh Maryam adalah menahan diri dari berbicara sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat,

فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)

Sedangkan secara istilah, puasa adalah:

إمساك مخصوص من شخص مخصوص في وقت مخصوص بشرائط

“Menahan hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi syarat tertentu.” (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).

Dalil Kewajiban Puasa

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.

Yang diwajibkan secara khusus adalah puasa Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. al-Baqarah: 185). Al-Qur’an dalam ayat ini diterangkan sebagai petunjuk bagi manusia menuju jalan kebenaran. Al-Qur’an itu sendiri adalah sebagai petunjuk. Al-Qur’an juga petunjuk yang jelas dan sebagai pembimbing untuk membedakan yang halal dan haram. Al-Qur’an pun disebut al-Furqon, yaitu pembeda antara yang benar dan yang batil. 

Siapa yang menyaksikan hilal atau mendapatkan bukti adanya hilal ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar), maka hendaklah ia berpuasa. Dari hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)

Begitu pula yang mendukungnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seorang Arab Badui. Dari Tholhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu 'anhu bahwa orang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun bertanya,

أَخْبِرْنِى بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصِّيَامِ قَالَ « شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »

Kabarkanlah padaku mengenai puasa yang Allah wajibkan.” Rasul menjawab, “Yang wajib adalah puasa Ramadhan. Terserah setelah itu engkau mau menambah puasa sunnah lainnya.” (HR. Bukhari no. 1891 dan Muslim no. 11) 

Bahkan ada dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan. (Lihat at-Tadzhib, hal. 108 dan Kifayatul Akhyar, hal. 248)
 
1- Syarat wajib puasa: Islam
Orang yang tidak Islam tidak wajib puasa. Ketika di dunia, orang kafir tidak dituntut melakukan puasa karena puasanya tidak sah. Namun di akhirat, ia dihukum karena kemampuan dia mengerjakan ibadah tersebut dengan masuk Islam. (Lihat al-Iqna’, 1: 204 dan 404)
2- Syarat wajib puasa: baligh
Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan bagi anak yang sudah tamyiz masih sah puasanya. Selain itu, di bawah tamyiz, tidak sah puasanya. Demikian dijelaskan dalam Hasyiyah Syaikh Ibrahim al-Baijuri, 1: 551.

Muhammad al-Khotib berkata, “Diperintahkan puasa bagi anak usia tujuh tahun ketika sudah mampu. Ketika usia sepuluh tahun tidak mampu puasa, maka ia dipukul.” (al-Iqna’, 1: 404).

Ada beberapa tanda baligh yang terdapat pada laki-laki dan perempuan:
  1. Ihtilam (keluarnya mani ketika sadar atau tertidur).
  2. Tumbuhnya bulu kemaluan. Namun ulama Syafi’iyah menganggap tanda ini adalah khusus untuk anak orang kafir atau orang yang tidak diketahui keislamannya, bukan tanda pada muslim dan muslimah.
Tanda yang khusus pada wanita: (1) datang haidh, dan (2) hamil.
Jika tanda-tanda di atas tidak didapati, maka dipakai patokan umur. Menurut ulama Syafi’iyah, patokan umur yang dikatakan baligh adalah 15 tahun. (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, 8: 188-192).

Yang dimaksud tamyiz adalah bisa mengenal baik dan buruk atau bisa mengenal mana yang manfaat dan mudhorot (bahaya) setelah dikenalkan sebelumnya. Anak yang sudah tamyiz belum dikenai kewajiban syar’i seperti shalat, puasa atau haji. Akan tetapi jika ia melakukannya, ibadah tersebut sah. Bagi orang tua anak ini ketika usia tujuh tahun, ia perintahkan anaknya untuk shalat dan puasa. Jika ia meninggalkan ketika usia sepuluh tahun, maka boleh ditindak dengan dipukul. (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, 14: 32-33)
3- Syarat wajib puasa: berakal
Orang yang gila, pingsan dan tidak sadarkan diri karena mabuk, maka tidak wajib puasa.

Jika seseorang hilang kesadaran ketika puasa, maka puasanya tidak sah. Namun jika hilang kesadaran lalu sadar di siang hari dan ia dapati waktu siang tersebut walau hanya sekejap, maka puasanya sah. Kecuali jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai dari shubuh hingga tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah. (Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim al-Baijuri, 1: 551-552).

Mengenai dalil syarat kedua dan ketiga yaitu baligh dan berakal adalah hadits,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat dari tiga orang: (1) orang yang tidur sampai ia terbangun, (2) anak kecil sampai ia ihtilam (keluar mani), (3) orang gila sampai ia berakal (sadar dari gilanya).” (HR. Abu Daud no. 4403, an-Nasai no. 3432, Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
4- Syarat wajib puasa: mampu untuk berpuasa
Kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan syar’i dan fisik. Yang tidak mampu secara fisik seperti orang yang sakit berat atau berada dalam usia senja atau sakitnya tidak kunjung sembut, maka tidak wajib puasa. Sedangkan yang tidak mampu secara syar’i artinya oleh Islam untuk puasa seperti wanita haidh dan nifas. Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim al-Baijuri, 1: 552, dan al-Iqna’, 1: 404.

Mengenai apa yang jadi kewajiban orang-orang yang tidak mampu ketika tidak puasa, insya Allah akan dikaji oleh Abu Syuja’ dalam bahasan-bahasan selanjutnya.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.


Referensi:
  1. Mukhtashor Abi Syuja’, Ahmad bin al-Husain al-Ashfahani asy-Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  2. At-Tadzhib fii Adillati Matan al-Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa al-Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
  3. Al-Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsudin Muhammad bin Muhammad al-Khotib, terbitan al-Maktabah at-Tauqifiyah.
  4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min al-Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
  5. Fathul Qorib (al-Qoulul Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor), Syamsuddin Muhammad bin Qosim al-Ghozzi, terbitan Maktabah al-Ma’arif, cetakan pertama, 1432 H.
  6. Hasyiyah Syaikh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibnul Qosim al-Ghozzi ‘ala Matan Abi Syuja’, terbitan Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
  7. Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islamiyah Kuwait.
----------
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, di Kamis pagi, 4 Sya’ban 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


- sumber -
http://muslim.or.id/ramadhan/fikih-puasa-1-syarat-wajib-puasa.html# 
Read more →

Selasa, 02 Juli 2013

Cara Membersihkan Najis

,
بسم الله الرحمن الرحيم




Cara Membersihkan Najis
Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
 

Ketahuilah, Allah-lah yang telah mengajarkan kita tentang kenajisan materi juga menunjuki cara bersuci darinya. Kita wajib mengikuti firman dan menjalankan perintah-Nya. Apa-apa yang disebutkan di dalamnya (kata) membasuh, hingga tidak terdapat warna, bau, dan rasa, maka seperti itulah cara membersihkannya. Dan apa-apa yang di dalamnya terdapat (kata) mengguyur, memercikkan, mengerik, menggosokkan ke tanah, atau sekedar berjalan di atas tanah yang suci, maka begitulah cara bersuci darinya. Ketahuilah bahwa air adalah hukum asal dalam membersihkan najis. Karena pembawa syari’at telah menyifatkannya:


خَلَقَ اللهُ الْمَاءَ طَهُوْرًا

“Allah telah menciptakan air dalam keadaan suci lagi menyucikan.” [1]

Maka tidak dibenarkan bersuci dengan selain air, kecuali jika syari'at menetapkannya. Jika tidak ada dalilnya, maka tidak boleh (dengan selain air). Karena hal ini berarti berpaling dari sesuatu yang telah diketahui bahwa ia suci dan menyucikan kepada sesuatu yang tidak diketahui, apakah ia suci dan mampu menyucikan. Hal ini keluar dari konsekuensi metode syari'at.

Jika engkau mengetahui yang demikian ini, maka didatangkan keterangan syari’at mengenai sifat menyucikan benda-benda najis atau benda yang berubah menjadi najis, yaitu:

1. Menyucikan kulit bangkai dengan samak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
 
“Kulit bangkai apa saja jika disamak, maka ia suci.” [2]

2. Menyucikan bejana yang dijilat anjing
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

“(Cara) menyucikan bejana seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan tanah.” [3]

3. Menyucikan baju yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Baju salah seorang di antara kami terkena darah haid. Apakah yang harus dia lakukan?’
Beliau bersabda:


تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ

"Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu." [4]

Jika setelah itu masih ada bekasnya, maka tidak masalah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Khaulah binti Yasar berkata, "Wahai Rasulullah, saya hanya mempunyai satu baju. Saya memakainya ketika haidh." Beliau bersabda, "Jika engkau telah suci, cucilah tempat yang terkena darah itu, lalu shalatlah dengannya." Dia berkata, "Wahai Rasulullah, jika bekasnya tidak hilang?" Beliau bersabda:


  يَكْفِيْكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ.

"Air telah mencukupimu dan bekasnya tidak masalah bagimu." [5]

4. Menyucikan bagian bawah pakaian wanita
Dari Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak majikannya) milik Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Dia berkata kepada Ummu Salamah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Saya adalah wanita yang berpakaian panjang dan saya berjalan di tempat kotor." Ummu Salamah radhiyallahu 'anhuma mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

“(Ujung pakaian yang terkena kotoran tadi) disucikan oleh (tanah) yang berikutnya.” [6]

5. Menyucikan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang masih menyusu
Dari Abu as-Samh, pembantu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

"Air kencing bayi perempuan dicuci. Sedangkan air kencing bayi laki-laki diperciki."[7]

6. Menyucikan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, dia berkata, "Aku mengalami kesulitan karena madzi. Aku sering mandi karenanya. Kuadukan masalahku ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, "Cukuplah bagimu wudhu." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mengenai pakaian saya?" Beliau bersabda:


يَكْفِيْكَ أَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهِ ثَوْبَكَ، حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ مِنْهُ

"Cukup ambil segenggam air lalu guyurkan (percikkan) pada pakaianmu yang terkena olehnya." [8]

7. Menyucikan bagian bawah sandal
Dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ وَلْيَنْظُرْ فِيْهِمَا، فَإِنْ رَأَى خَبَثًا فَلْيَمَسَّهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا

"Jika salah seorang di antara kalian datang ke masjid, hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika melihat kotoran padanya, hendaklah ia gosokkan ke tanah, lalu shalat dengannya." [9]

8. Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Seorang Arab Badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang lantas menghardiknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada mereka:


دَعُوْهُ، وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ -أَوْ ذَنُوْباً مِنْ مَاءٍ- فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ

"Biarkan dia. Guyurkan setimba atau seember air pada kencingnya. Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan menyusahkan." [10]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal tersebut agar kesucian tanah segera terealisir. Jika dibiarkan hingga kering dan bekas najis hilang, maka tanah itupun suci kembali. Berdasarkan hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, banyak anjing yang kencing dan berlalu-lalang dalam masjid. Mereka tidak mengguyurkan air sedikit pun di atasnya."[11]


 
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. As-Sailul Jarraar (I/42,48) dengan pengubahan. Tentang perkataan beliau, "Allah menciptakan air dalam keadaan suci dan menyucikan." Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhiish (I/14), "Aku tidak mendapati yang seperti ini." Dan telah disebutkan dalam hadits Abu Sa'id dengan lafazh:
إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْئٌ
“Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, dan tidak menjadi najis oleh apa pun.”

[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2907)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (I/230 no. 49), Sunan at-Tirmidzi (III/135 no. 1782), Sunan Ibni Majah (II/ 1193 no. 3609), Sunan an-Nasa-i (VII/173).
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4]. Telah disebutkan takhrijnya.
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 351)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (II/26 no. 361), dan al-Baihaqi (II/408).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 430)], Muwaththa' al-Imam Malik (XXVII/44), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (II/44 no. 379), Sunan at-Tirmidzi (I/95 no. 143), dan Sunan Ibni Majah (I/177 no. 531).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 293)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (II/36 no. 372), Sunan an-Nasa-i (I/158).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 409)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/358 no. 207), Sunan at-Tirmidzi (I/76 no. 115), Sunan Ibni Majah (I/169 no. 506).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 605)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[10]. Muttafaq 'alaihi: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 171)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/323 no. 220), Sunan an-Nasa-i (I/49, 48), diriwayatkan dengan panjang. Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (II/39 no. 376), dan Sunan at-Tirmidzi (I/99 no. 147).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 368)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) secara mu’allaq. (I/278 no. 174), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (II/42 no. 378). 



- sumber -
almanhaj.or.id 
Read more →

Perbedaan Hadats dan Najis

,
بسم الله الرحمن الرحيم
 
 

Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat. Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama ‘pembatal wudhu’.

Adapun najis maka dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.

Najis terbagi menjadi tiga :
  1. Najis maknawiah, misalnya kekafiran. Karenanya Allah berfirman, “Orang-orang musyrik itu adalah najis,” yakni bukan tubuhnya yang najis akan tetapi kekafirannya. 
  2. Najis ainiah, yaitu semua benda yang asalnya adalah najis. Misalnya: Kotoran dan kencing manusia dan seterusnya.
  3. Najis hukmiah, yaitu benda yang asalnya suci tapi menjadi najis karena dia terkena najis. Misalnya: Sandal yang terkena kotoran manusia, baju yang terkena haid atau kencing bayi, dan seterusnya.

Dari perbedaan di atas kita bisa melihat bahwa hadats adalah sebuah hukum atau keadaan, sementara najis adalah benda atau zat. Misalnya: Buang air besar adalah hadats dan kotoran yang keluar adalah najis, buang air kecil adalah hadats dan kencingnya adalah najis, keluar darah haid adalah hadats dan darah haidnya adalah najis.

Kemudian yang penting untuk diketahui adalah bahwa tidak ada korelasi antara hadats dan najis, dalam artian tidak semua hadats adalah najis demikian pula sebaliknya tidak semua najis adalah hadats.

Contoh hadats yang bukan najis adalah mani dan kentut. Keluarnya mani adalah hadats yang mengharuskan seseorang mandi akan tetapi dia sendiri bukan najis karena Nabi -'alaihishshalatu wassalam- pernah shalat dengan memakai pakaian yang terkena mani, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah. Demikian pula buang angin adalan hadats yang mengharuskan wudhu akan tetapi anginnya bukanlah najis, karena seandainya dia najis maka tentunya seseorang harus mengganti pakaiannya setiap kali dia buang angin.

Contoh yang najis tapi bukan hadats adalah bangkai. Dia najis tapi tidak membatalkan wudhu ketika menyentuhnya dan tidak pula membatalkan wudhu ketika memakannya, walaupun tentunya memakannya adalah haram. Jadi, yang membatalkan thaharah hanyalah hadats dan bukan najis.

Karenanya jika seseorang sudah berwudhu lalu dia buang air maka wudhunya batal, akan tetapi jika setelah dia berwudhu lalu menginjak kencing maka tidak membatalkan wudhunya, dia hanya harus mencucinya lalu pergi shalat tanpa perlu mengulangi wudhu, dan demikian seterusnya.

Kemudian di antara perbedaan antara hadats dan najis adalah bahwa hadats membatalkan shalat sementara najis tidak membatalkannya. Hal itu karena bersih dari hadats adalah syarat sah shalat sementara bersih dari najis adalah syarat wajib shalat. Dengan dalil hadits Abu Sa'id al-Khudri dimana tatkala Nabi -'alaihishshalatu wassalam- sedang mengimami shalat, Jibril memberitahu beliau bahwa di bawah sandal beliau adalah najis. Maka beliau segera melepaskan kedua sandalnya -sementara beliau sedang shalat- lalu meneruskan shalatnya. Seandainya najis membatalkan shalat tentunya beliau harus mengulangi dari awal shalat karena rakaat sebelumnya batal. Tapi tatkala beliau melanjutkan shalatnya, itu menunjukkan rakaat sebelumnya tidak batal karena najis yang ada di sandal beliau. Jadi orang yang shalat dengan membawa najis maka shalatnya tidak batal, akan tetapi dia berdosa kalau dia sengaja dan tidak berdosa kalau tidak tahu atau tidak sengaja.

Kesimpulan :
Dari uraian di atas kita bisa memetik beberapa perbedaan antara hadats dan najis di kalangan fuqaha' yaitu:
1. Hadats adalah hukum atau keadaan, sementara najis adalah zat atau benda.
2. Hadats membatalkan wudhu sementara najis tidak.
3. Hadats membatalkan shalat sementara najis tidak.
4. Hadats diangkat dengan bersuci (wudhu, mandi, tayammum), sementara najis dihilangkan cukup dengan dicuci sampai hilang zatnya.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam.



- sumber -
Read more →

.: Share This :.