Sabtu, 25 Mei 2013

Sikap yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun

,



بسم الله الرحمن الرحيم


Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.

Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun?

Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka kita bagi dalam dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, perayaan tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu yang di dalamnya ada doa-doa atau bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar (pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang dalam agama, karena Rasul kita Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa beramal dengan amal yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak.” [HR. Bukhari & Muslim]

Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa, karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah Ta'ala. Sebagaimana hadits,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

"Aku akan mendahului kalian di al-Haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al-Haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’" [HR. Bukhari no. 7049]

Kemungkinan kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan tidak dalam rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau mungkin sekedar have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui juga bahwa setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied sendiri. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا

“Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah Ied kita (kaum Muslimin).” [HR. Bukhari & Muslim]

Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat. Nah, jika kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk dalam 3 macam tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut? Yang pasti bukan milik kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut.” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]

Maka orang yang merayakan Ied yang selain Ied milik kaum Muslimin seolah ia bukan bagian dari kaum Muslimin. Namun hadits ini tentunya bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya. Karena seorang Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan ciri hamba Allah yang sejati (Ibaadurrahman) salah satunya,

والذين لا يشهدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما

“Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan az-Zuur dan bila melewatinya ia berjalan dengan wibawa.” [QS. al-Furqan: 72]

Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan "az-Zuur" pada ayat di atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan "az-Zuur" dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah.

Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya.” Jawabnya, seorang muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah, sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya. Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup dalam ayat,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” [QS. al-Mujadalah: 22]

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah- menjelaskan: “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalannya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan, 'Semoga Allah memanjangkan umurmu' kecuali dengan keterangan 'Dalam ketaatanNya' atau 'Dalam kebaikan' atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.” [Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id]


Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang tahun adalah: tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa dalam menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa kesehatan, kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan setiap tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan.

Wallahu’alam.



- sumber -

Penulis: Yulian Purnama
Read more →

Kamis, 23 Mei 2013

Menghidupkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

,


بسم الله الرحمن الرحيم


Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau  dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Karena konsekuensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau  adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau . Allah  berfirman:

{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31). 

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam  dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[1]

Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata: “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah  adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah  yang utama adalah (dengan) meneladani beliau, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[2] 

Kedudukan dan keutamaan sunnah Rasulullah  dalam Islam 

Sunnah Rasulullah, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau [3], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah  sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah, dalam firman-Nya:

{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung.” (QS al-Qalam:4). 

Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah, Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah, beliau menjawab: “Sungguh akhlak Rasulullah  adalah al-Qur’an”.[4]

Ini berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[5] 

Demikian pula dalam firman-Nya :
 
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzaab:21). 

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Allah  sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah  sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah.[6]

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata: "Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah  dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau."[7]

Kemudian firman Allah Ta'ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah 'Azza wa Jalla dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata: "Teladan yang baik (pada diri Rasulullah ) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah ) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah."[8] 

Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau  bersabda:
 
((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun.”[9] 

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia).[10]

Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah  akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya. 

Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata: “Sesungguhnya sunnah Rasulullah  jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia.”[11]
 
Semangat para ulama Ahlus Sunnah dalam meneladani Sunnah Nabi 

Para ulama Ahlus Sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta'ala memuliakan mereka.

Sampai-sampai Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata: “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah) maka lakukanlah!”[12] 

Demikian pula ucapan Imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i[13]: “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya.”[14]

Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut. 

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata: “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah ), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia).”[15]

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pujian yang tinggi. 

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[16]: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[17] adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus Sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) di jamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus Sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus Sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham“[18], ulama tersebut menjawab: "Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham."

Kemudian Ibnul Qayyim berkata: “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu jaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus Sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus Sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”[19]. 

Senada dengan ucapan di atas, Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadits Nabi  bahwa beliau pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam.”[20]

Bahkan para ulama Ahlus Sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah  yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada Imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[21]. 

Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah  dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah  ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya.[22] Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah :
 
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu.” (QS al-Anfaal:24). 

Peringatan dan nasehat penting

Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus Sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim jaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim jaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja, adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya. 

Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.

Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, para ulama Ahlus Sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamanya, apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah : “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku”[24]. Dulunya para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekuensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya”[25].

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah  dalam firman-Nya:

 {وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}

“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110). 

Mirip dengan kasus di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka. Maka Syaikh al-’Utsaimin berkata: “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[27], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam)  hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28] 

Penutup 

Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah  ketika kita mengahadap-Nya nanti?

Renungkanlah firman Allah Ta'ala berikut:

{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya.” (QS al-Israa:71)

Imam Ibnu Katsir berkata: "Salah seorang ulama salaf berkata: 'Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam'".[29]

Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus Sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30], ketika beliau ditanya: “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”, maka beliau menjawab: “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah?”[31]

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, Aamiin.
 
     Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah [32]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
 


KotaNabi , 9 Dzulqa’dah 1430 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[2] Kitab “asy-Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).
[3] Lihat kitab “Taujiihun Nazhar ila Ushuulil Atsar” (1/40).
[4] HSR Muslim (no. 746).
[5] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[9] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan Ibnu Majah” (no. 173).
[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[11] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[12] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/216).
[13] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari kalangan Atba’ut Tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 381).
[14] Dinukil oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/219).
[15] Ibid (1/168).
[16] Kitab “Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidisy Syaithaan” (1/70).
[17] Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Abul Hasan al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam “Siyaru a’laamin nubala’” (12/195).
[18] HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Khalaf Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh al-’Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.
[19] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS an-Nisaa’:115.
[20] Dinukil oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi” (1/220).
[21] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).
[22] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawaid” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[23] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[24] HSR al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).
[25] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).
[26] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya wa Taujiihaat li Tullaabil 'Ilmi” (1/55-57).
[27] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih  oleh Syaikh al-Albani.
[28] Liqa-aatul Baabil Maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.
[29] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).
[30] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut Tahdziib” (hal. 166).
[31] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu Daaris Sa’aadah” (1/74).
[32] Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349)


- sumber -
 http://manisnyaiman.com/menghidupkan-sunnah-rasulallah/
Read more →

Senin, 20 Mei 2013

Keutamaan Adzan

,


بسم الله الرحمن الرحيم



Setiap hari, selama lima kali kaum muslimin mendengar seruan adzan yang berkumandang di masjid-masjid. Adzan ini memberitahukan telah masuknya waktu shalat agar manusia-manusia yang tengah sibuk dengan pekerjaannya istirahat sejenak memenuhi seruan Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian pula, yang tengah terlelap tidur menjadi terbangun lantas berwudhu dan mengenakan pakaian terbaiknya untuk menunaikan shalat berjama’ah. 

Pengertian Adzan 

Adzan secara bahasa bermakna "al-i'lam" yang berarti pengumuman atau pemberitahuan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُه

“Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada ummat manusia di hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrikin…..” (QS. at-Taubah : 3)

Adapun secara syar’i adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan lafazh-lafazh yang khusus. (al-Mughni, 2: 53; Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78). 

Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Para ulama menyebutkan 4 hikmah adzan : (1) menampakkan syi’ar Islam, (2) menegakkan kalimat tauhid, (3) pemberitahuan masuknya waktu shalat, (4) seruan untuk melakukan shalat berjama’ah.” (Taudhihul Ahkam, 1: 513)

Keutamaan Adzan 

Salah satu tanda sempurnanya syari’at Islam ini adalah memberi dorongan kepada ummatnya untuk melaksanakan ibadah dengan menyebutkan keutamaan ibadah tersebut. Begitu pula adzan, banyak riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin). 

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَر

”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi.” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267) 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا 

”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)

Muawiyah radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمؤَذِّنُوْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 850) 

Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatu pun yang mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 609) 

Ibnu ’Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلْمْؤَذِّنِ مُنْتَهَى أََذَانِهِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ سَمِعَهُ 

”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad 2: 136. Syaikh Ahmad Syakir berkata bahwa sanad hadits ini shahih) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan para imam dan muadzin,

اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمّةَ وَاغْفِرْ لِلَمْؤَذِّنِيْنَ 

”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR. Abu Dawud no. 517 dan at-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 217) 

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، فَأَرْشَدَ اللهُ الْأَئِمّةَ وَعَفَا عَنِ المْؤَذِّنِيْنَ 

“Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi. Semoga Allah memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan para muadzin.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 239) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Bab Adzan) 

Demikianlah keutamaan-keutamaan yang terdapat pada adzan dan muadzin. Semoga kita termasuk dari golongan orang-orang yang ketika mendengar sebuah hadits (yang shahih), kemudian segera mengamalkannya. Wallahu a’lam.


Penulis: Arif Rahman Habib


- sumber -
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/keutamaan-adzan.html 
Pengertian Adzan
Adzan secara bahasa bermakna al i’lam yang berarti pengumuman atau pemberitahuan, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُه
“Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada ummat manusia di hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrikin…..” (QS. At Taubah : 3)
Adapun secara syar’i adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan ,lafazh-lafazh yang khusus. (Al Mughni, 2: 53, Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78).
Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Para ulama’ menyebutkan 4 hikmah adzan : (1) menampakkan syi’ar Islam, (2) menegakkan kalimat tauhid, (3) pemberitahuan masuknya waktu shalat, (4) seruan untuk melakukan shalat berjama’ah.” (Taudhihul Ahkam, 1: 513)
Keutamaan Adzan
Salah satu tanda sempurnanya syari’at Islam ini adalah memberi dorongan kepada ummatnya untuk melaksanakan ibadah dengan menyebutkan keutamaan ibadah tersebut. Begitu pula adzan, banyak riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَر
”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi …” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا
”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)
Muawiyah radhiallahu ‘anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمؤَذِّنُوْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 850)
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatu pun yang mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 609)
Ibnu ’Umar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلْمْؤَذِّنِ مُنْتَهَى أََذَانِهِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ سَمِعَهُ
”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad 2: 136. Syaikh Ahmad Syakir berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan para imam dan muadzin,
اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمّةَ وَاغْفِرْ لِلَمْؤَذِّنِيْنَ
”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR. Abu Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 217)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، فَأَرْشَدَ اللهُ الْأَئِمّةَ وَعَفَا عَنِ المْؤَذِّنِيْنَ
“Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi. Semoga Allah memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan paramuadzin.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Bab Adzan)
Demikianlah keutamaan-keutamaan yang terdapat pada adzan dan muadzin. Semoga kita termasuk dari golongan orang-orang yang ketika mendengar sebuah hadits, segera mengamalkannya. Wallahu a’lam.

Penulis: Arif Rahman

Read more →

Sabtu, 18 Mei 2013

Ringan di Lisan Berat di Timbangan

,


بسم الله الرحمن الرحيم



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari no. 7573 dan Muslim no. 2694)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih, subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dengan nama-Nya ar-Rahman (Yang Maha Pemurah). Hikmahnya adalah –wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah Ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883) 

Subhanallahi Wabihamdih 

Makna ucapan "Subhanallah" (Maha suci Allah) adalah anda menyucikan Allah Ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha Sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah yaitu "wabihamdih" yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya. (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)

Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang Pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut (rububiyah dan uluhiyah). (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885) 

Makna pujian kepada Allah 

Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah Ta’ala memiliki nama, sifat, dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji. (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Al-Hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan (dari yang memuji), kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10) 

Subhanallahil ‘Azhim 

Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah Ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah Ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya. (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)

Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah Ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah Ta’ala. (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885)



- sumber -
http://muslim.or.id/doa-dan-wirid/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html
Read more →

.: Share This :.