Senin, 29 April 2013

Sudahkah Anda Merasakan Manfaat Shalat?

,
 


Ustadz Mochammad Taufiq Badri


Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Sebuah ibadah mulia yang mempunyai peran penting bagi keislaman seseorang. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan shalat seperti pondasi dalam sebuah bangunan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ….

"Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, menegakkan shalat…." [HR Bukhâri dan Muslim]


Oleh karena itu, ketika muadzin mengumandangkan adzan, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengambil air wudhu, kemudian berbaris rapi di belakang imam shalat mereka. Mulailah kaum muslimin tenggelam dalam dialog dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan begitu khusyu’ menikmati shalat sampai imam mengucapkan salam. Dan setelah usai, masing-masing kembali pada aktivitasnya.


Timbul pertanyaan, apakah masing-masing kaum muslimin sama dalam menikmati shalat ini? Apakah juga mendapatkan hasil yang sama?


Perlu kita ketahui bahwa setiap amal shalih membawa pengaruh baik kepada pelaku-pelakunya. Pengaruh ini akan semakin besar sesuai dengan keikhlasan dan kebenaran amalan tersebut. Dan pernahkah kita bertanya, “apakah manfaat dari shalatku?” atau “sudahkah aku merasakan manfaat shalat?”
 

Imam Hasan al-Bashri pernah mengatakan: “Wahai, anak manusia. Shalat adalah yang dapat menghalangimu dari maksiat dan kemungkaran. Jika shalat tidak menghalangimu dari kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum shalat”.[1]
 

Dari nasihat beliau ini, kita bisa memahami bahwa shalat yang dilakukan secara benar akan membawa pengaruh positif kepada pelakunya. Dan pada kesempatan ini, marilah kita mempelajari manfaat-manfaat shalat. Kemudian kita tanyakan kepada diri sendiri, sudahkah aku merasakan manfaat shalat?
 

1. Shalat Adalah Simbol Ketenangan.
 
Shalat menunjukkan ketenangan jiwa dan kesucian hati para pelakunya. Ketika menegakkan shalat dengan sebenarnya, maka diraihlah puncak kebahagiaan hati dan sumber segala ketenangan jiwa. Dahulu, orang-orang shalih mendapatkan ketenangan dan pelepas segala permasalahan ketika mereka tenggelam dalam kekhusyu'an shalat.


Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dalam Sunan-nya:
Suatu hari ‘Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah pergi bersama bapaknya menjenguk saudara mereka dari kalangan Anshar. Kemudian datanglah waktu shalat. Dia pun memanggil pelayannya,”Wahai pelayan, ambillah air wudhu! Semoga dengan shalat aku bisa beristirahat,” kami pun mengingkari perkataannya. Dia berkata: "Aku mendengar Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Berdirilah ya Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!’."[2]


Marilah kita mengintrospeksi diri, sudahkah ketenangan seperti ini kita dapatkan dalam shalat-shalat kita? Sudah sangat banyak shalat yang kita tunaikan, tetapi pernahkah kita berfikir manfaat shalat ini? Atau hanya  rutinitas shalat yang kita tegakkan sehari-hari?

Suatu ketika seorang tabi’in yang bernama Sa'id bin Musayib rahimahullah mengeluhkan sakit di matanya. Para sahabatnya berkata kepadanya: "Seandainya engkau mau berjalan-jalan melihat hijaunya Wadi 'Aqiq, pastilah akan meringankan sakitmu," tetapi ia menjawab: "Lalu apa gunanya aku shalat 'Isya` dan Subuh?"[3]


Demikianlah, generasi terdahulu dari umat ini memposisikan shalat dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, shalat adalah obat bagi segala problematika. Dengan hati mereka menunaikan shalat, sehingga jiwa menuai ketenangan dan mendapatkan kebahagiaan.


2. Shalat Adalah Cahaya.
 
Ambillah cahaya dari shalat-shalat kita. Ingatlah, cahaya shalat bukanlah cahaya biasa. Dia cahaya yang diberikan oleh Penguasa alam semesta ini. Diberikan untuk menunjuki manusia ke jalan yang lurus, yaitu jalan ketaatan kepada Allah Rabbul 'alamin.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari sahabat Abu Mâlik al-'Asy'ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "والصلاة نور (dan shalat itu adalah cahaya)". Oleh karena itu, marilah menengok diri kita, sudahkah cahaya ini menerangi kehidupan kita? Dan sungguh sangat mudah jika kita ingin mengetahui apakah shalat telah mendatangkan cahaya bagi kita? Yakni dapat kita lihat, apakah shalat membawa ketaatan kepada Allah dan menjauhkan kita dari bermaksiat kepada-Nya? Jika sudah, berarti shalat itu telah menjadi sumber cahaya bagi kehidupan kita. Inilah cahaya awal yang dirasakan manusia di dunia. Dan kelak di akhirat, ia akan menjadi cahaya yang sangat dibutuhkan, yang menyelamatkannya dari berbagai kegelapan sampai mengatarkannya kepada surga Allah Subhanahu wa Ta’ala .


3. Shalat Sebagai Obat Dari Kelalaian.
 
Lalai adalah penyakit berbahaya yang menimpa banyak manusia. Lalai mengantarkan manusia kepada berbagai kesesatan, bahkan menjadikan manusia tenggelam di dalamnya. Mereka akan menanggung akibat dari kelalaian yang mereka ambil di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga lalai menjadi penutup yang menutupi hati manusia. Hati yang tertutup kelalaian, menyebabkan kebaikan akan sulit sampai padanya. Tetapi menegakkan shalat sesuai dengan syarat dan rukunnya, dengan menjaga sunnah dan khusyu' di dalamnya, insya Allah akan menjadi obat paling mujarab dari kelalaian ini, membersihkan hati dari kotoran-kotorannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

 
"Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." [al-A'raf/7:205].


Berkata Imam Mujahid rahimahullah: "Waktu pagi adalah shalat Subuh dan waktu petang adalah shalat ‘Ashar".


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ حَافَظَ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ رواه ابن خزيمة وابن حبان

 

"Barang siapa yang menjaga shalat-shalat wajib, maka ia tidak akan ditulis sebagai orang-orang yang lalai."[4]

4. Shalat Sebagai Solusi Problematika Hidup.
 
Sudah menjadi sifat dasar manusia ketika dia tertimpa musibah dan cobaan, dia akan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahannya. Maka tidak ada cara yang lebih manjur dan lebih hebat dari shalat. Shalat adalah sebaik-baik solusi dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan kesulitan hidup. Karena tidak ada cara yang lebih baik dalam mendekatkan diri seseorang dengan Rabbnya kecuali dengan shalat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya mengucapkan:


أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ رواه مسلم

 

"Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya yaitu ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa." [HR Muslim]. [5]

Inilah di antara manfaat shalat yang sangat agung, mendekatkan hamba dengan Dzat yang paling ia butuhkan dalam menyelesaikan problem hidupnya. Maka, janganlah kita menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jangan sampai kita lalai dalam detik-detik shalat kita. Jangan pula terburu-buru dalam shalat kita, seakan tidak ada manfaat padanya.


Shalat bisa menjadi sarana menakjubkan untuk mendatangkan pertolongan dan dukungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kisah Nabi Yunus Alaihissallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan:


فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

 

"Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit." [ash-Shafât/37:143-144].

Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma menafsirkan "banyak mengingat Allah", yaitu, beliau (Nabi Yunus) termasuk orang-orang yang menegakkan shalat.[6]


Sahabat Hudzaifah radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى. رواه أبو داود

 

"Dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertimpa suatu urusan, maka beliau melaksanakan shalat." [HR Abu Dawud].[7]

5. Shalat Mencegah Dari Perbuatan Keji Dan Mungkar.
 
Sebagaimana telah kita fahami, bahwasanya shalat akan membawa cahaya yang menunjukkan pelakunya kepada ketaatan. Bersamaan dengan itu, maka shalat akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana hal ini difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :


اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

 

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." [al-'Ankabût/29:45].

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas mengatakan: "Dalam shalat terdapat larangan dan peringatan dari bermaksiat kepada Allah."[8]

 

6. Shalat Menghapuskan Dosa.
 
Shalat selain mendatangkan pahala bagi pelakunya, juga menjadi penghapus dosa, membersihkan manusia dari dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

 

"Apa pendapat kalian, jika di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai (mengalir); dia mandi darinya lima kali dalam sehari, apakah tersisa kotoran darinya?" Para sahabat menjawab: “Tidak akan tertinggal kotoran sedikitpun”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demikianlah shalat lima waktu, Allah menghapuskan dengannya kesalahan-kesalahan”. [HR Bukhâri dan Muslim]

Inilah sebagian manfaat shalat yang tak terhingga banyaknya, dari yang kita ketahui maupun yang tersimpan di sisi Allah. Oleh karena itu, marilah menghitung diri kita masing-masing, sudahkah di antara manfaat-manfaat tersebut yang kita rasakan? Ataukah kita masih menjadikan shalat sebagai salah satu rutinitas hidup kita? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dicela Allah dalam firman-Nya:


فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

 

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." [al-Mâ'ûn/107:4-5].

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golonagn hamba-hambanya yang menegakkan shalat, dan memetik buahnya dari shalat yang kita kerjakan.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ad-Dur al-Mantsur, 6/466.
[2]. Abu Dawud, Bab Shalat 'Atamah.
[3]. Lihat Syu'abul-Iman, 6/443.
[4]. Ibnu Khuzaimah, Bab: Jima'u Abwab Shalat. Lihat juga Silsilah Shahîhah, 657.
[5]. Muslim, Kitabush-Shalat, Bab: Ma Yuqaalu 'inda Ruku' wa Sujud.
[6]. Ibnu Katsir, 7/39.
[7]. Abu Dawud, Bab: Waqtu Qiyamin-Nabi.
[8]. Ath-Thabari, 20/41. 


- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/3443/slash/0/sudahkah-anda-merasakan-manfaat-shalat/ 
Read more →

Perkara-Perkara Fithrah

,
 


 بسم الله الرحمن الرحيم

 Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: اْلاِسْتِحْدَادُ، وَالْخِتَانُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ

"Lima (perilaku) fithrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku."[1]

Dari Zakaria bin Abi Zaidah, dari Mush'ab bin Syaibah, dari Thalq bin Habib, dari Ibnu az-Zubair, dari 'Aisyah
radhiyallahu 'anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ -يَعْنِي اْلاِسْتِنْجَاءُ- قَالَ زَكَرِيَّا، قَالَ مُصْعَبُ وَنَسِيْتُ الْعَاشِرَ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةُ.


"Sepuluh (perilaku) fithrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, menghirup air ke hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dengan air
(bercebok). Zakaria mengatakan bahwa Mush'ab berkata, "Aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur." [2]

1. Khitan

 
Khitan wajib bagi pria dan wanita
, karena ia merupakan ciri ke-Islaman. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang baru memeluk Islam:

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ.

"Campakkanlah rambut kekufuran [3] darimu dan berkhitanlah." [4]

Perbuatan ini termasuk ajaran Nabi Ibrahim Alaihissallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِخْتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمنِ بَعْدَ مَا أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً.

"Ibrahim, Khalilurrahman (kekasih Allah) berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun." [5]

Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus).’ Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” [a
n-Nahl: 123]
.
Disukai bila khitan dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran.

Berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ أَياَّمٍ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaqikahi serta mengkhitan Hasan dan Husain pada hari ketujuh." [6]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:

سَبْعَةٌ مِنَ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ: يُسَمَّى وَيُخْتَنُ.

"Tujuh dari perkara-perkara sunnah untuk bayi pada hari ketujuh adalah memberi nama dan mengkhitan." [7]

Kedua hadits dia atas meskipun terdapat kelemahan pada keduanya, namun masing-masing saling menguatkan. Karena sumber keduanya berbeda dan tidak ada (perawi) yang tertuduh pada keduanya.[8]

2. Memanjangkan jenggot

 
Memanjangkan jenggot hukumnya wajib dan mencukurnya hukumnya haram,
karena (termasuk) merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan syaitan, di mana Allah mengabarkan tentang perkataan syaitan:

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” [
an-Nisaa': 119]

Mencukurnya (termasuk) menyerupai wanita.

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita."[9]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan memanjangkan jenggot. Sedangkan perintah menunjukkan wajib (hukum asalnya), sebagaimana diketahui.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.

"Pangkaslah kumis dan panjangkan jenggot. Selisihilah orang-orang majusi."[10]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

"Selisihilah orang-orang musyrik. Panjangkan jenggot dan potonglah kumis."[11]

3. Siwak

 
Bersiwak disukai pada semua keadaan. Lebih disukai pada saat-saat berikut: 
a. Ketika wudhu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ.

"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap wudhu." [12]

b. Ketika shalat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ.

"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap akan shalat."[13]

c. Ketika membaca al-Qur-an
Dari ‘Ali Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kami bersiwak dan bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ مَلَكٌ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ، فَلاَ يَقْرَأُ آيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ.

"Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak melakukan shalat, datanglah Malaikat padanya. Lalu ia berdiri di belakangnya untuk mendengarkan al-Qur-an. Ia mendekat dan tetap mendengarkan serta mendekat hingga ia letakkan mulutnya ke mulut hamba tadi. Tidaklah ia membaca ayat melainkan ayat tersebut sampai ke perut Malaikat itu." [14]

d. Ketika memasuki rumah
Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya. Dia berkata, aku bertanya kepada ‘Aisyah:

بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ بَيْتِهِ؟ قَالَتْ: بِالسِّوَاكِ.

"Dengan apa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali masuk rumah beliau?" Dia berkata, "Dengan bersiwak." [15]

e. Ketika shalat malam
Dari Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ لِيَتَهَجَّدَ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak shalat, beliau membersihkan mulutnya dengan siwak." [16]

Dimakruhkan Mencabut Uban
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَنْتَفُوا الشَّيْبَ، مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيْبُ شَيْبَةً فِي اْلإِسْلاَمِ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

"Janganlah kalian mencabut uban. Karena tidaklah seorang muslim beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan ia akan menjadi cahaya baginya di hari Kiamat." [17]

Dibolehkan menyemir uban dengan pacar, inai, atau sejenisnya dan diharamkan menggunakan warna hitam.

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتْمُ.

"Bahan terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah pacar dan inai." [18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبَغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ.

"Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka selisihilah mereka." [19]

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah didatangkan. Rambut dan jenggotnya telah memutih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bersabda:

غَيِّرُوْا هذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوْا السَّوَادَ.

"Rubahlah (rambut) ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam." [20]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَكُوْنُ قَوْمٌ يَخْضَبُوْنَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَّامِ لاَ يُرِيْحُوْنَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

"Pada akhir masa kelak akan ada kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka tidak mencium aroma Surga."[21]
 




[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/334 no. 5889)], Shahiih Muslim (I/221 no. 257), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (XI/ 252 no. 4180), Sunan at-Tirmidzi (IV/184 no. 2905), Sunan an-Nasa-i (I/14), dan Sunan Ibni Majah (I/107 no. 292).
[2]. Hasan: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 182)], Shahiih Muslim (I/223 no. 261), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/79 no. 52), Sunan at-Tirmidzi (IV/184/ no. 2906), Sunan an-Nasa-i (VIII/126), dan Sunan Ibni Majah (I/108 no. 293).
[3]. Yang dimaksud rambut kekufuran adalah model rambut yang menjadi ciri khas orang-orang kafir. Lihat 'Aunul Ma'buud dan Tuhfatul Ahwadzi.-Pent.
[4]. Hasan: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 1251)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (II/20 no. 352), dan al-Baihaqi (I/172).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/88 no. 6298)], dan Shahiih Muslim (IV/1839 no. 370).
[6]. Ath-Thabrani dalam ash-Shaghiir (II/122 no. 891). Lihat [Tamaamul Minnah hal. 68].
[7]. Ath-Thabrani dalam al-Ausath (I/334 no. 562). Lihat [Tamaamul Minnah hal. 68].
[8]. Tamaamul Minnah hal. 68.
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 5100)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/332 no. 5885), dan Sunan at-Tirmidzi (VI/194 no. 2935).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim. (no. 181)], dan Shahiih Muslim (I/222 no. 260).
[11]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/349 no. 5892)], dan Shahiih Muslim (I/222 no. 259 (54)).
[12]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 5316)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (I/294 no. 171).
[13]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/220 no. 252)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/374 no. 887), Sunan at-Tirmidzi (I/18 no. 22), Sunan an-Nasa-i (I/12), hanya saja dalam lafazh al-Bukhari tertulis “مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ”.
[14]. Shahiih lighairihi: [Ash-Shahiihah (no. 1213)], al-Baihaqi (I/38).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 235)], Shahiih Muslim (I/220 no. 253), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/86 no. 58), Sunan Ibni Majah (I/106/ no. 290), dan Sunan an-Nasa-i (I/13).
[16]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/220 no. 255)], lafazh ini milik al-Bukhari. Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/356 no. 245), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/83 no. 54), dan Sunan an-Nasa-i (I/8). Lafazh mereka bertiga: "إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ (jika bangun malam hari)."
[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 7463)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (XI/256 no. 4184), dan Sunan an-Nasa-i (VIII/136).
[18]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 1546)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (XI/259 no. 4187), Sunan at-Tirmidzi (III/145 no. 1806), Sunan Ibni Majah (II/1196 no. 3622), dengan lafazh miliknya. Sunan an-Nasa-i (VIII/ 139).
[19]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/354 no. 5899)], Shahiih Muslim (III/1663 no. 2103), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (XI/257/ no. 4185), dan Sunan an-Nasa-i (VIII/137).
[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 4170), Shahiih Muslim (III/1663 no. 2102 (69)), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (XI/258 no. 4186), Sunan an-Nasa-i (VIII/138), Sunan Ibni Majah (II/1197 no. 3624) dengan (lafazh) semisalnya.
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 8153)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (XI/266 no. 4194), Sunan an-Nasa-i (VIII/138).  


- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/930/slash/0/perkara-perkara-fithrah/
Read more →

Takdir dan Perbuatan Hamba

,
 


بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan:
Diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah adalah:

 ما شاء اللهُ كان وما لم يشأ لم يكن

Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Ia kehendaki tidak terjadi

Namun dalam diriku terdapat sebuah syubhat, yaitu perbuatan hamba itu ada karena kehendak Allah (dengan mengenyampingkan dahulu perihal kehendak hamba). Jika seorang hamba berbuat maksiat, sebetulnya maksiat yang ia lakukan itu atas kehendak Allah. Sehingga sebetulnya kehendak hamba tidak punya peran diantara kehendak Allah dan perbuatan si hamba. Maksudnya, kehendak si hamba itu, ada atau tidaknya tidak berpengaruh karena sesuatunya atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak sesuatu terjadi, maka si hamba akan berkehendak demikian lalu terjadilah. Jika Allah tidak berkehendak, maka si hamba tidak akan berkehendak juga dan lalu tidak terjadi.

Pertanyaan saya, apakah ini artinya hamba itu dipaksa oleh takdir untuk melakukan kebaikan ataupun keburukan? Jika jawabannya ya, lalu mengapa maksiat itu mendapat hukuman? Mohon penjelasan dari anda, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Permasalahan ini membuat saya bingung.

Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:
Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, juga kepada para sahabatnya, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma Ba’du.

Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan taufik kepada anda, sebelum saya menjelaskan masalah ini anda hendaknya membedakan antara qadha kauniy dan qadha syar’i.

Qadha kauniy adalah takdir, yang terjadi atas kehendak Allah yang segala sesuatu tunduk pada kekuasaan-Nya. Dan setiap takdir pasti memiliki hikmah. Allah berfirman:

إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ

Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia” (QS. al-Baqarah: 117)

juga firman-Nya:

وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ

Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. ar-Ra’du: 11)

maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala sudah lebih dahulu mengetahui apa yang akan terjadi, dan ketika itu terjadi pasti sesuai dengan apa yang Allah ketahui. Tidak ada seorang pun hamba yang dipaksa oleh takdir Allah untuk melakukan ketaatan ataupun maksiat, dan tidaklah mereka dikendalikan oleh takdir. Karena ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat Allah yang berupa inkisyaf (menyingkap yang belum terjadi) dan ihathah (pengetahuan atas segala sesuatu) bukan berupa taf’il (perbuatan) atau ta’tsir (hal yang menghasilkan perubahan). Dan qadha kauniy ini tidak diketahui oleh kita. Oleh karena itu, hamba Allah tidak dihisab berdasarkan qadha kauniy (yaitu karena tidak kita ketahui, -pent.). Namun dengan qadha kauniy ini hamba Allah dituntut untuk bersyukur jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan nikmat. Dan dituntut untuk bersabar jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan keburukan. Oleh karena itu juga, kehendak dan ikhtiar hamba tidak dilandasi oleh qadha kauniy.

Tidak demikian dengan qadha syar’i. Kehendak dan ikhtiar hamba berkaitan dengannya. Pembebanan syariat kepada hamba, berupa perintah dan larangan yang menjadi sumber pahala dan dosa juga dilandasi oleh qadha syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan qadha syar’i ini kepada kita melalui Rasul-Nya dan juga wahyu-Nya (al-Qur’an) untuk menunjukkan yang halal dan yang haram, juga janji dan ancaman-Nya. Untuk itu pula Allah memberikan kita kemampuan untuk menjalankannya. Qadha kauniy terus berlaku pada setiap apa yang terjadi hingga hari kiamat, qadha syar’i pun tidak lepas darinya. Artinya apa yang ada dalam qadha syar’i, segala sesuatu yang terjadi tetap tidak akan keluar dari qadha kauniy.

Oleh karena itu juga, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya untuk taat, Ia memerintahkannya, dan tidak menginginkan hamba-Nya bermaksiat. Ia melarangnya. Perintah dan larangan tersebut merupakan qadha syar’i yang hamba dapat berkehendak untuk melakukannya atau tidak, dan tergantung pada ikhtiarnya. Namun Allah Ta’ala sudah mengetahui sebelumnya bahwa sebagian mereka akan berikhtiar untuk taat dan menjalani kebenaran, dan sebagian mereka akan berikhtiar untuk menjalani jalan kesesatan dan penyimpangan. Lalu Allah menetapkan pahala bagi orang yang taat dan menetapkan dosa bagi orang yang menyimpang dari kebenaran, sebagai bentuk qadha kauniy yang sudah diketahui sebelumnya oleh Allah. Pengetahuan Allah ini bukanlah pemaksaan dan pengendalian akan apa yang akan dilakukan si hamba dengan ikhtiar yang dilakukannya. Karena qadha kauniy ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak boleh berdalih dengan qadha kauniy atas maksiat dan ketidaktaatan yang ia lakukan. Dan tidak ada seorang pun yang dapat berhujjah dengannya. Di sisi lain, seseorang tidak boleh meninggalkan amal karena menggantungkan diri para iradah kauniyah yaitu takdir. Oleh karena itu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

Beramallah! karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menggapai tujuan ia diciptakan

lalu beliau membaca ayat:

فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى، وَصَدَّقَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. al-Lail, 5-10). [HR. Bukhari 4949, Muslim 6903]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Takdir bukanlah alasan bagi siapapun di hadapan Allah, juga di hadapan makhluk-Nya. Andai boleh beralasan dengan takdir dalam melakukan keburukan, maka orang zhalim tidak layak dihukum, orang musyrik tidak diperangi, hukuman pidana tidak boleh dijatuhkan, dan seseorang tidak boleh mnecegah kezhaliman orang lain. Semuga orang paham secara pasti bahwa ini semua merupakan kerusakan, baik dari segi agama maupun segi dunia” (Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra, 1/353)

والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا

-----
Penerjemah: Yulian Purnama


- sumber -
http://muslim.or.id/aqidah/takdir-dan-perbuatan-hamba.html 
Read more →

Keutamaan Bersyukur Ketika Senang dan Bersabar Ketika Mendapat Bencana

,


  بسم الله الرحمن الرحيم


     عَنْ صُهَيْبٍ بن سنان t قالَ: رَسُولُ اللَّهِ r: « عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ » رواه مسلم

     Dari Shuhaib bin Sinan dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersyukur di saat senang dan bersabar di saat susah, bahkan kedua sifat inilah yang merupakan penyempurna keimanan seorang hamba. Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: “Iman itu terbagi menjadi dua bagian; sebagiannya (adalah) sabar dan sebagian (lainnya adalah) syukur”[2].

Dalam al-Qur’an, Allah memuji secara khusus hamba-hamba-Nya yang memiliki dua sifat ini sebagai orang-orang yang bisa mengambil pelajaran ketika menyaksikan tanda-tanda kemahakuasaan Allah Ta'ala. Allah Azza wa Jalla berfirman:

{إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ}

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemehakuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur.” (QS Luqmaan: 31).

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits ini:
  • Imam Ibnul Qayyim berkata: “(Hadits di atas menunjukkan bahwa) tingkatan-tingkatan iman seluruhnya  (berkisar) antara sabar dan syukur”[3].
  • Kehidupan seorang mukmin seluruhnya bernilai kebaikan dan pahala di sisi Allah Ta'ala, baik dalam kondisi yang terlihat membuatnya senang ataupun susah.
  • Seorang hamba yang sempurna imannya akan selalu bersyukur kepada Allah ketika senang dan bersabar ketika susah, maka dalam semua keadaan dia senantiasa ridha kepada Allah dalam segala ketentuan takdir-Nya, sehingga kesusahan dan musibah yang menimpanya berubah menjadi nikmat dan anugerah baginya.
  • Orang yang tidak beriman akan selalu berkeluh kesah dan murka ketika ditimpa musibah, sehinnga semua dosa dan keburukan akan menimpanya, dosa di dunia karena ketidaksabaran dan ketidakridhaannya terhadap ketentuan takdir Allah Azza wa Jalla, serta di akhirat mendapat siksa neraka.
  • Keutamaan dan kebaikan dalam semua keadaan hanya akan diraih oleh orang-orang yang sempurna imannya[4].
  • Rukun sabar ada tiga yaitu: menahan diri dari sikap murka terhadap segala ketentuan Allah Ta'ala, menahan lisan dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang dilarang (Allah), seperti menampar wajah (ketika terjadi musibah), merobek pakaian, memotong rambut dan sebagainya[5].
  • Rukun syukur juga ada tiga: mengakui dalam hati bahwa semua nikmat itu dari Allah Azza wa Jalla, menyebut-nyebut semua nikmat tersebut secara lahir (dengan memuji Allah dan memperlihatkan bekas-bekas nikmat tersebut dalm rangkan mensyukurinya), dan menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala[6].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Kota Kendari, 8 Jumadal Akhir 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni


[1] HSR Muslim (no. 2999).
[2] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “’Uddatush Shaabiriin” (hal. 88).
[3] Kitab “Thariiqul Hijratain” (hal. 399).
[4] Keempat faidah di atas kami nukil dari kitab “Bahjatun Naazhiriin” (1/82-83).
[5] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam  kitab “al-Waabilush Shayyib” (hal. 11).
[6] Ibid.


- sumber -
http://manisnyaiman.com/keutamaan-bersyukur-ketika-senang-dan-bersabar-ketika-mendapat-bencana/ 
Read more →

Tiga Wasiat Penting Rasulullah

,


Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.


عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda : "Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik." 
 
- Takhrij Hadits -
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri radhiyallahu 'anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al-Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.

- Penjelasan Hadits -
Hadits yang mulia ini berisi wasiat berharga dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepada kita semua dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Wasiat ini berhubungan dengan hubungan kita kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Setiap kita mesti akan berhubungan dengan Sang Pencipta kita dan ini dapat diwujudkan dengan benar hanya dengan takwa kepadaNya disetiap saat. Juga setiap kita akan berhubungan dengan diri sendiri sebagai insan yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka caranya adalah dengan mengiringi kesalahan dan dosa dengan taubat yang merupakan amalan sholih dan kebajikan yang dapat menghapus dosa kesalahan tersebut. Sehingga bila seorang berbuat dosa maka segera mengiringinya dengan taubat dan menambah amal kebaikan yang dapat menghapusnya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan” (Qs Hûd/11: 114).

Demikian juga kita tidak mungkin lepas dari masyarakat dan orang lain disekitar kita, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan orang lain. Sebab itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan dengan menjadikan akhlak mulia sebagai dasar dalam pergaulan ini. Bergaul dengan orang lain dengan akhlak mulia dapat dijabarkan oleh sabda beliau yang lainnya, yaitu sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه

Siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan masuk syurga maka hendaknya kematian menjemputkanya dalam keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaknya ia bergaul dengan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain bergaul dengannya.” (HR Muslim)

Demikian indahnya wasiat ini, sehingga siapa yang ingin selamat dunia akherat maka hendaknya mengamalkan tiga wasiat Rasululah shallallahu ’alaihi wa sallam ini. Semoga kita dapat mewujudkannya!

- Fawaid -
  1. Takwa kepada Allah merupakan kewajiban setiap muslim dan dia merupakan asas diterimanya amal shaleh.
  2. Semangatnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam mengarahkan umatnya kepada setiap kebaikan.
  3. Wajib bagi seseorang untuk memenuhi hak Allah dengan bertakwa kepada-Nya.
  4. Wajibnya bertakwa kepada Allah Ta’ala dimana pun seseorang berada. Yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya, baik saat bersama orang lain maupun ketika sendirian.
  5. Wasiat takwa adalah wasiat yang paling agung.
  6. Wajib seseorang memenuhi hak dirinya dengan bertobat dan berbuat kebajikan.
  7. Bersegera melakukan ketaatan setelah keburukan secara langsung, karena kebaikan akan menghapus keburukan.
  8. Bersungguh-sungguh menghias diri dengan akhlak mulia dan Anjuran bergaul bersama manusia dengan akhlak yang baik.
  9. Akhlak yang baik termasuk dari kesempurnaan iman dan sifat orang-orang yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang lurus.
  10. Akhlak yang baik termasuk asas dari peradaban hidup manusia, sebagai sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta, dicintai Allah Ta’ala, dan diangkatnya derajat pada hari Kiamat.
  11. Menjaga pergaulan yang baik merupakan kunci kesuksesan, kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Hal tersebut dapat menghilangkan dampak negatif pergaulan.



- sumber -
http://muslim.or.id/hadits/tiga-wasiat-penting-rasulullah.html 
Read more →

Minggu, 28 April 2013

Keutamaan Membaca Surat al-Mulk

,

Keutamaan Membaca Surat al-Mulk

 
 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « سُورَةٌ مِنَ الْقُرْآنِ ثَلاَثُونَ آيَةً تَشْفَعُ لِصَاحِبِهَا حَتَّى يُغْفَرَ لَهُ {تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ الْمُلْكُ}. وفي رواية: فأخرجته من النار و أدخلته الجنة » حسن رواه أحمد وأصحاب السنن


Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu surat dalam al-Qur’an (yang terdiri dari) tiga puluh ayat (pada hari kiamat) akan memberi syafa’at (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) bagi orang yang selalu membacanya (dengan merenungkan artinya) sehingga Allah mengampuni (dosa-dosa)nya, (yaitu surat al-Mulk): “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam riwayat lain: “…sehingga dia dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca surat ini secara kontinyu[2], karena ini merupakan sebab untuk mendapatkan syafa’at dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Hadits ini semakna dengan hadits lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu surat dalam al-Qur’an yang hanya (terdiri dari) tiga puluh ayat akan membela orang yang selalu membacanya (di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala) sehingga dia dimasukkan ke dalam surga, yaitu surat: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan”[3].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
  • Keutamaan dalam hadits ini diperuntukkan bagi orang yang selalu membaca surat al-Mulk dengan secara kontinyu disertai dengan merenungkan kandungannya dan menghayati artinya[4]. 
  • Surat ini termasuk surat-surat al-Qur’an yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum tidur di malam hari, karena agungnya kandungan maknanya[5].
  • Sebagian dari ulama ahli tafsir menamakan surat ini dengan penjaga/pelindung dan penyelamat (dari azab kubur)[6], akan tetapi penamaan ini disebutkan dalam hadits yang lemah[7].
  • al-Qur’an akan memberikan syafa’at (dengan izin Allah) bagi orang yang membacanya (dengan menghayati artinya) dan mengamalkan isinya[8], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya bacaan al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafa’at bagi orang-orang yang membacanya (sewaktu di dunia)”[9].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين




Kota Kendari, 22 Jumadal Ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HR Abu Dawud (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 2891), Ibnu Majah (no. 3786), Ahmad (2/299) dan al-Hakim (no. 2075 dan 3838), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim dan disepakati oleh imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/453).
[3] HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 3654) dan “al-Mu’jamush shagiir” (no. 490), dinyatakan shahih oleh al-Haitsami dan Ibnu hajar (dinukil dalam kitab “Faidhul Qadiir” 4/115) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 3644).
[4] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/115).
[5] HR at-Tirmidzi (no. 2892) dan Ahmad (3/340), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 585).
[6] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (18/205).
[7] Lihat kitab “Dha’iifut targiibi wat tarhiib” (no. 887).
[8] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/240).
[9] HSR Muslim (no. 804).
- sumber -
http://manisnyaiman.com/keutamaan-membaca-surat-al-mulk/
Read more →

Agama Adalah Nasihat

,


Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas -hafidzahullah-


Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa berpegang teguh dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya agama itu adalah nasihat. Oleh karena itu, mereka menasihati penguasa dan ummat ini dengan cara yang baik.
 
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

 
اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.

 
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.” [1] 

Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi (wafat th. 1163 H) rahimahullah berkata: “Nasihat kepada Allah maksudnya adalah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas kepada Rabb-nya dan meyakini bahwa Dia adalah Ilah Yang Esa dalam Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan dan penyerupaan, serta apa-apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allah mempunyai sifat segala kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan-Nya, dan seorang muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan, dan mengamalkan amalan zhahir dan batin yang Allah cintai dan menjauhi apa-apa yang Allah benci dan dia cinta kepada apa-apa yang dicintai oleh Allah dan benci kepada apa-apa yang Allah benci, dan dia meyakini apa-apa yang Allah jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan yang bathil itu sebagai suatu kebathilan, dan hatinya penuh dengan cinta dan rindu kepada-Nya, ia bersyukur akan nikmat-nikmat-Nya dan sabar atas bencana yang menimpanya, serta ridha dengan takdir-Nya.” [2]

Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa termasuk nasihat kepada Allah adalah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah. Adapun makna nasihat kepada Allah adalah beriman kepada Allah, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat-Nya, mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang sempurna dan mulia semuanya, mensucikan Allah dari semua sifat-sifat yang kurang. Melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan maksiat, mencintai karena Allah, benci karena-Nya, loyal (mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka kepada-Nya, berjihad melawan orang kufur kepada-Nya, berjihad melawan orang yag kufur kepada-Nya, mengakui nikmat-Nya dan bersyukur atas segala nikmat-Nya. [3]

Sedangkan nasihat kepada kitab-Nya menurut Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah adalah dengan meyakini bahwasanya Al-Qur-an itu Kalamullah Ta’ala, wajib mengimani apa-apa yang ada di dalamnya. Wajib mengamalkan, memuliakan, dan membacanya dengan sebenar-benarnya dan mengutamakannya dari selainnya serta penuh perhatian untuk mendapatkan ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai Uluhiyyah Allah yang tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman dekat orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allah dan merupakan wasilah bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan Allah. Dia sebagai penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu, dan barangsiapa yang ingin sampai di tujuan, maka harus menempuh jalannya, karena kalau tidak ia pasti sesat. Seandainya seorang hamba mengetahui keagungan Kitab Allah, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya sedikit pun.[4]

Yang dimaksud dengan nasihat kepada Rasul-Nya, yaitu dengan meyakini bahwa beliau adalah seutama-utama makhluk dan kekasih-Nya. Allah mengutusnya kepada para hamba-Nya agar beliau mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya, menjelaskan kepada mereka apa-apa yang membuat mereka bahagia dan apa-apa yang membuat mereka sengsara, menerangkan kepada mereka jalan Allah yang lurus agar mereka lulus mendapatkan kenikmatan Surga dan terhindar dari kepedihan api Neraka, dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta tidak ada kesempitan di dadanya terhadap apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan. Tunduk serta patuh kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti orang yang buta mengikuti petunjuk jalan yang awas matanya. Orang yang menang adalah yang menang membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya dan orang yang rugi adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa yang taat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia taat kepada Allah dan barangsiapa yang menentangnya, maka ia telah menentang Allah dan kelak akan diberikan balasan yang setimpal. [5]

Sedangkan makna nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin, yaitu nasihat kepada para penguasa mereka, maka ia menerima perintah mereka, mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiyat, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada al-Khaliq. Tidak me-merangi mereka selama mereka belum kafir, berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka, membersihkan kerusakan mereka, memerintahkan mereka kepada kebaikan, melarangnya dari kemunkaran serta mendo’akan mereka agar mendapatkan kebaikan. Karena dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat. [6]

Dan makna nasihat kepada kaum Muslimin pada umumnya adalah dengan menolong mereka dalam hal kebaikan, melarang mereka berbuat keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintai untuk diri sendiri, dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Allah. Maka haruslah bagi seorang hamba untuk memandang mereka dengan kacamata yang satu, yaitu kacamata kebenaran.” [7]



[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 55 (95)), Abu Dawud (no. 4944), an-Nasa-i (VII/156-157), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahih Ibni Hibban no. 4555), Ahmad (IV/102-103), al-Baihaqi (VIII/163), dan ini lafzah milik Ibnu Hibban dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamim bin ‘Aus ad-Daari radhiyallahu 'anhu.
[2]. Lihat Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 47-48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah. Cet. I-Daar Ramadi, th. 1415 H.
[3]. Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawy (II/38).
[4]. Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 48) oleh Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi.
[5]. Ibid, (hal. 48).
[6]. Ibid, (hal. 48).
[7]. Ibid, (hal. 48). 


- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/1443/slash/0/agama-adalah-nasihat/ 
Read more →

.: Share This :.