Selasa, 24 Desember 2013

Kemuliaan Pembawa Hadits

,
بسم الله الرحمن الرحيم



Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ – وفي لفظٍ: فَوَعَاها وَحَفِظَها – حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ

"Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya."
 

Takhrij Hadits dan Derajatnya


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (no. 3660), at-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), ath-Thabrani dalam "al-Mu'jamul Kabiir" (no. 4890), dan imam-imam lainnya.

Hadits ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat radhiyallahu 'anhum dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak sekali[1].

Imam Shalahuddin al-'Ala'i berkata, "Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar sahabat radhiyallahu 'anhum, di antaranya: Abdullah bin Mas'ud, Jubair bin Muth'im, Zaid bin Tsabit, Nu'man bin Basyir, Abu Sa'id al-Khudri, Abdullah bin 'Umar, Anas bin Malik, Ibnu 'Abbas, 'Aisyah, Abu Hurairah, Ubay bin Ka'ab, Jabir bin Abdillah, Rabi'ah bin 'Utsman, Abu Qarshafah dan sahabat lainnya radhiyallahu 'anhum"[2].

Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, "Hadits ini sangat masyhur (dikenal), dikeluarkan dalam kitab-kitab as-Sunan atau dalam sebagiannya, dari hadits (riwayat) Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, dan Jubair bin Muth'im. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dan (Imam) Abul Qasim Ibnu Mandah menyebutkan dalam kitabnya at-Tadzkirah bahwa hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam oleh dua puluh empat orang sahabat radhiyallahu 'anhum, kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat tersebut…"[3].

Bahkan Imam as-Suyuthi dalam kitab Tadriibur Raawi (2/179) menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sekitar tiga puluh orang sahabat radhiyallahu 'anhum.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh sejumlah besar imam Ahlul Hadits, di antaranya: Imam Abdurrahman bin Abi Hatim[4], Ibnu Hibban[5], al-Mundziri[6], al-'Ala'i[7], Ibnul Qayyim[8], al-Bushiri, dan Syaikh al-Albani[9].

Syarah Hadits 


Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan orang yang mempelajari, memahami, kemudian menyampaikan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau kepada umat manusia. Sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, "Seandainya tidak ada keutamaan mempelajari ilmu (tentang hadits Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam) kecuali (keutamaan yang disebutkan dalam hadits) ini, maka cukuplah itu sebagai kemuliaan (yang agung), karena sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi orang yang mendengar ucapan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain)"[10].

Semakna dengan ucapan di atas, Mulla 'Ali al-Qari berkata, "Hadits ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan/mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan) tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari, menghafal, dan menyampaikan hadits (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) kecuali (hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka cukuplah itu sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan akhirat, serta bagian dan keutamaan (yang besar)"[11].

Doa kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan (rupa), yang diucapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagi orang-orang yang mempelajari dan menyampaikan petunjuk beliau shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat ini adalah sebagai "al-Jaza'u min jinsil 'amal" (balasan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka), karena mereka telah mengusahakan sebab sampainya petunjuk dan bimbingan kebaikan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada manusia, yang dengan mengamalkan ini semua, wajah manusia akan menjadi putih berseri pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah Ta'ala,

{يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ، فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُون. وَأَمَّا الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون}

"Pada hari yang (di waktu itu) ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): 'Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman, karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya'." (QS Ali 'Imraan: 106-107)[12].

Dan sungguh doa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini benar-benar terbukti secara nyata pada diri orang-orang yang diberi taufik oleh Allah Ta'ala untuk mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan keikhlasan serta mengharapkan balasan pahala dari Allah Ta'ala[13].

Mulla 'Ali al-Qari berkata, "Ada yang mengatakan: Sungguh Allah telah mengabulkan doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (tersebut). Oleh karena itu, kamu dapati para (ulama) ahli hadits adalah orang yang paling bagus (elok) wajahnya dan indah penampilannya. Diriwayatkan dari Imam Sufyan bin 'Uyainah bahwa beliau berkata, 'Tidak ada seorang pun yang menuntut (ilmu) hadits kecuali (terlihat) pada wajahnya kecerahan'[14], yaitu: keindahan yang tampak atau (yang bersifat) maknawi (tidak tampak)"[15].

Hal ini tidaklah mengherankan, karena secara umum Allah Ta'ala menjadikan perbuatan baik dan amalan shalih sebagai sebab yang menjadikan kebaikan dan keindahan lahir dan batin pada diri orang yang mengamalkannya, terlebih lagi pada diri orang-orang yang membawa petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan sumber kebaikan dalam agama ini.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma sewaktu beliau berkata, "Sesungguhnya (amal) kebaikan itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezeki dan kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rezeki dan kebencian di hati manusia"[16].

Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim berkata, "Doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini (keindahan rupa) mengandung arti keindahan/keelokan pada lahir dan batin, karena (kata) an-nadhrah berarti kecerahan dan keindahan yang menghiasi wajah, (yang bersumber) dari pengaruh iman (dalam hati), serta kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan (yang dirasakan dalam) batin dengan keimanan tersebut, sehingga kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan itu akan tampak (nyata) berupa kecerahan pada wajah. Oleh karena itulah, Allah Ta'ala mengumpulkan kesenangan dan kebahagiaan (dalam hati) dengan keceriaan (pada wajah, sebagai balasan kemuliaan bagi penduduk surga), sebagaimana dalam firman-Nya,

{فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورً}

"Maka Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan menganugerahkan kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta kegembiraan (dalam hati mereka)." (QS al-Insaan: 11)
 
Maka kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan kegembiraan atau kebahagiaan (ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa kesenangan dan kegembiraan (dalam) hati akan menampakkan (pengaruh baik berupa) kecerahan pada wajah. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (tentang keadaan penduduk surga),

{تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيم}

"Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan." (QS al-Muthaffifiin: 24)

Kesimpulannya, kecerahan pada wajah bagi orang yang mendengarkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian memahami, menghafal dan menyampaikannya (kepada orang lain), ini adalah pengaruh kemanisan (iman), dan kesenangan serta kebahagiaan (yang dirasakannya) di dalam hati"[17].

Keterangan di atas menunjukkan keutamaan yang agung dari mempelajari dan memahami hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam membersihkan penyakit hati dan kotoran jiwa manusia, yang itu semua merupakan penghalang utama untuk mencapai kemanisan iman dan kebahagiaan hati.

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganalogikan petunjuk dan ilmu yang beliau bawa dengan air hujan yang Allah Ta'ala turunkan ke bumi untuk memberikan kehidupan bagi tanah yang tandus dan bagi makhluk hidup. Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا…

"Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah Ta'ala wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…"[18].

Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah Ta'ala) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri/tanah yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…"[19].

Imam Ibnul Jauzi berkata, "Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam)"[20].

Maraatib (Tingakatan/Tahapan) dalam Menuntut Ilmu Agama


Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengisyaratkan tentang maraatib (tingakatan/tahapan) yang harus ditempuh dalam menuntut ilmu agama, agar ilmu yang dipelajari benar-benar dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi orang yang mempelajarinya.
Tahapan-tahapan ilmu tersebut adalah:
  1. Mendengarkan/menyimak ilmu dari sumbernya, sumber ilmu yang utama adalah al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan termasuk dalam hal ini membaca dan menelaah kitab-kitab ilmu agama yang bersumber dari wahyu Allah Ta'ala tersebut.
  2. Berusaha memahami dan meresapi kandungan maknanya, agar ilmu itu benar-benar menetap dalam hati dan tidak hilang.
  3. Berusaha menjaga dan menghafalnya, agar tidak dilupakan.
  4. Menyebarkan dan menyampaikannya kepada umat, supaya kebaikan dan petunjuk Allah Ta'ala tersebar dan diamalkan dalam kehidupan manusia, karena ilmu agama itu ibaratnya seperti perbendaharaan harta yang terpendam dalam tanah, kalau tidak segera dikeluarkan maka harta itu terancam akan musnah[21].
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat lebih utama daripada menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh (berperang melawan musuh-musuh Islam). Karena menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh mampu dilakukan oleh mayoritas manusia, adapun menyampaikan sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (kepada umat) hanyalah bisa dilakukan oleh Waratsatul Anbiya' (orang-orang yang mewarisi ilmu para Nabi 'alaihimus salam dengan tekun mempelajarinya) dan orang-orang yang menggantikan (tugas) mereka (dalam mempelajari, memahami dan menyebarkan petunjuk Allah Ta'ala) di umat-umat mereka. Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita termasuk (golongan) mereka, dengan anugerah dan kemurahan-Nya"[22].

Kemudian, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di akhir hadits ini, "…Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya…", ini menunjukkan salah satu manfaat besar dari menyampaikan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat.

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (di akhir hadits) ini merupakan peringatan akan pentingnya menyampaikan (petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat). Karena terkadang orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, sehingga orang tersebut mendapatkan (manfaat besar) dari hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang disampaikan kepadanya) melebihi yang didapatkan si penyampai. Atau (bisa juga) diartikan bahwa orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, maka ketika dia mendengarkan hadits tersebut, dia akan mengartikannya dengan sebaik-baik kandungan makna, menarik kesimpulan (hukum-hukum) fikih, dan memahami kandungan (yang benar) dari hadits tersebut"[23].

Fawa'id Hadits


  1. Besarnya perhatian dan semangat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memberikan bimbingan kebaikan kepada umatnya, untuk kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Allah Ta'ala berfirman, 
    {لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ}

    "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya apa-apa yang menyusahkanmu, sangat menginginkan (petunjuk dan kebaikan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min" (QS at-Taubah: 128).
  2. Peringatan untuk memberikan perhatian besar dalam mempelajari hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, baik secara riwayah (yang berhubungan dengan periwayatan/perawi dalam sanad hadits) maupun dirayah (makna dan kandungan hadits).
  3. Keutamaan menekuni ilmu hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendokan kebaikan bagi orang-orang yang menekuninya.
  4. Anjuran untuk menyebarkan dan mendakwahkan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat.
  5. Agungnya kemuliaan dan keutamaan para ulama ahli Hadits.
  6. Anjuran untuk menjaga dan menghafal hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
  7. Al-Jaza'u min jinsil 'amal (balasan yang Allah Ta'ala berikan kepada manusia adalah sesuai dengan jenis perbuatan mereka).
  8. Keutamaan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena merekalah orang yang paling pertama dan sungguh-sungguh dalam mendengarkan, memahami dan menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umat ini, maka merekalah yang paling berhak untuk mendapatkan kemuliaan doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini.
  9. "Barangsiapa yang mengajak (manusia) untuk (melakukan) kebaikan, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang yang melakukannya"[24].
  10. Mendoakan kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan rupa bagi orang yang mempelajari dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
  11. Larangan menyembunyikan ilmu dan petunjuk kebaikan.
  12. Hadits ahad (hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang jumlahnya sedikit) adalah dalil dan hujjah (argumentasi) yang wajib diamalkan kandungannya, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini tidak mensyaratkan jumlah yang banyak bagi orang yang mendengar dan menyampaikan hadits-hadits beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
  13. Kebaikan manusia lahir dan batin hanyalah dicapai dengan memahami dan mengamalkan petunjuk Allah Ta'ala dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
  14. Fungsi utama petunjuk yang dibawa oleh Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pembersih penyakit hati dan kotoran jiwa manusia.
  15. Mempelajari, memahami, menghafal dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah termasuk sebab utama terjaganya kemurnian sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini termasuk makna firman Allah Ta'ala, 
    {إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}

    "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an[25], dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (QS al-Hijr: 9).
  16. Keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama.
  17. Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih adalah sumber pengambilan hukum-hukum fikih.
  18. Keutamaan menggabungkan antara menghafal hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan memahami kandungan maknanya[26].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 11 Dzulqa'dah 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA


[1] Lihat kitab "Dirasatu Hadits: nadhdharallahu imraan sami'a maqaalati…" (3/315- Kutubu wa Rasa-il Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad). [2] Kitab "Jaami'ut Tahshiil fi Ahkaamil Maraasiil" (hal. 52-53).
[3] Dinukil oleh Imam al-Munawi dalam kitab "Faidhul Qadiir" (6/283).
[4] Dalam kitab "al-Jarhu wat Ta'diil" (2/10).
[5] Dalam kitab "Shahih Ibni Hibban" (2/454).
[6] Dalam kitab "at-Targiibu wat Tarhiib" (1/54).
[7] Dalam kitab "Jaami'ut Tahshiil fi Ahkaamil Maraasiil" (hal. 53).
[8] Dalam kitab "Miftahu Daaris Sa'aadah" (1/71).
[9] Dalam kitab "Silsilatul Ahaaditsish Shahiihah" (1 bagian 2/761).
[10] Kitab "Miftahu Daaris Sa'aadah" (1/71).
[11] Kitab "Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaatil Mashaabiih" (1/288).
[12] Lihat kitab "Dirasatu Hadits: nadhdharallahu imraan sami'a maqaalati…" (3/446).
[13] Ibid (3/455).
[14] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab "Syarafu Ashhaabil Hadits" (hal. 27).
[15] Kitab "Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaatil Mashaabiih" (1/288).
[16] Dinukil oleh Imam Ibnu Taimiyyah dalam kitab "al-Istiqaamah" (1/351) dan Ibnul Qayyim dalam kitab "al-Waabilush Shayyib" (hal. 43).
[17] Kitab "Miftahu Daaris Sa'aadah" (1/71).
[18] HSR al-Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[19] Fathul Baari (1/177).
[20] Kitab "Talbisu Ibliis" (hal.398).
[21] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab "Miftahu Daaris Sa'aadah" (1/71-72).
[22] Kitab "Jala-ul Afhaam" (hal. 415).
[23] Kitab "Miftahu Daaris Sa'aadah" (1/72).
[24] HSR Muslim (no. 1893).
[25] Termasuk di dalamnya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sunnah adalah penjelas makna al-Qur'an.
[26] Lihat kitab "Dirasatu Hadits: nadhdharallahu imraan sami'a maqaalati…" (3/368-375).
 



- sumber -
http://muslim.or.id/hadits/kemuliaan-pembawa-hadits.html
Read more →

Jumat, 20 Desember 2013

Ittiba' Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Sebagai Perwujudan Syahadatain

,
بسم الله الرحمن الرحيم




(Oleh: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)

Kita bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas segala nikmat yang telah dikaruniakan kepada kita. Nikmat yang Allâh Ta'âla karuniakan kepada kita sangat banyak dan tidak dapat kita hitung.
Allâh Ta'âla berfirman:

(QS Ibrahim/14 : 34)

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu)
dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh,
tidaklah dapat kamu menghitungnya.
Sesungguhnya manusia itu,
sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh)

(QS Ibrahim/14 : 34)

Menurut Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh, nikmat terbagi menjadi dua. Pertama, nikmat mutlaqah (mutlak). Yaitu nikmat Islam, iman, hidup berlandaskan sunnah, terhindar dari marabahaya. Hal ini dilimpahkan oleh Allâh Ta'âla hanya kepada orang-orang mukmin yang mencintaiNya. Kedua, nikmat muqayyadah (terbatas). Yaitu nikmat sehat, rizki, keturunan, makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Nikmat ini diberikan oleh Allâh, tidak hanya bagi kaum Mukminin, namun juga kepada orang-orang kafir dan munafiqin, sebagai bukti bahwa Allâh adalah Maha Pemurah kepada setiap hambaNya, baik yang taat maupun yang ingkar.

Kita wajib bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas nikmat yang telah diberikan kepada kita, berupa nikmat Islam dan nikmat berada di atas Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam yang mulia, serta nikmat 'afiat dan keselamatan.

Setiap orang yang meyakini Islam sebagai agamanya, pada hakikatnya telah menyatakan persaksian dan pengakuannya dengan dua kalimat syahadat:

asyhaduan laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah

Aku bersaksi bahwa tiada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh,
dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allâh

Demikian juga halnya dengan orang yang hendak masuk Islam, maka dia wajib mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.
yang berarti “aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh”, mengandung makna laa ma’buda bi haqqin ilallah (tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allâh Ta'âla).[1]

Adapun makna adalah, tidak ada yang diikuti dengan benar kecuali hanya Muhammad Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, mengikuti selain Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tanpa dalil, berarti telah mengikuti kebatilan.

Allâh Ta'âla berfirman :

(QS al A’raaf/7 : 3)

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya,
amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)

(QS al-A'râf/7 : 3)[2]

(QS an Nisaa’/4: 65)

Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu
sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.
Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

(QS an-Nisâ'/4: 65)

(QS al Ahzaab/33 : 36)

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allâh dan RasulNya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allâh dan RasulNya, maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.

(QS al-Ahzâb : 36)

Syahadat Muhammad Rasûlullâh mengandung konsekuensi sebagai berikut :
a.
, yaitu mentaati yang diperintahkan oleh beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Dalilnya antara lain :

(QS an Nisaa’/4:13)

Barangsiapa taat kepada Allâh dan RasulNya,
niscaya Allâh memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya;
dan itulah kemenangan yang besar.

(QS an-Nisâ':13)

b.
yaitu membenarkan yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam sampaikan.
Dalilnya antara lain :

(QS al Hadiid/57 : 28)

Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul),
bertaqwalah kepada Allâh dan berimanlah kepada RasulNya...

(QS al-Hadîd : 28)

c.
, yaitu yaitu menjauhkan diri dari yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam larang.
Dalilnya antara lain :

(QS al Hasyr/59 : 7)

…Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allâh.
Sesungguhnya Allâh amat keras hukumannya.

(QS al-Hasyr/59 : 7)

d.
, yaitu tidak beribadah kepada Allâh Ta'âla melainkan sesuai dengan cara yang telah disyariatkan. Dengan kata lain, kita wajib beribadah kepada Allâh Ta'âla menurut petunjuk yang beliau shallallâhu 'alaihi wasallam syari’atkan.
Dalilnya antara lain :

(QS Ali Imran/3 : 31)

Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku,
niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.
Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(QS Ali Imran : 31).[3]

Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam diutus kepada jin dan manusia, dan kita diperintahkan untuk beriman kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan ittiba’ kepada beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan nikmat yang besar bagi kaum Mukminin, sebagaimana Allâh Ta'âla berfirman :

(QS Ali ‘Imran/3 : 164)

Sungguh, Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah.
Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

(QS Ali Imran/3 : 164)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh (wafat th. 728 H) berkata:
”Kebahagiaan itu disebabkan karena mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Sedangkan kesesatan dan celaka disebabkan menyalahi petunjuk Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya, setiap kebaikan di alam semesta ini, baik yang sifatnya umum atau khusus, sumbernya dari diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Begitu juga semua kejelekan di alam semesta yang menimpa manusia, disebabkan penyimpangannya terhadap petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan tidak mengetahui apa yang dibawa beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.
Bahwasanya kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat disebabkan ittiba’ (mengikuti petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam). Risalah kenabian dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Kebutuhan mereka kepada diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam di atas seluruh kebutuhan. Diutusnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam merupakan ruh bagi alam semesta, cahaya dan kehidupan.” [4]
Beliau rahimahullâh juga berkata:
”Ar-Risalah (diutusnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memperbaiki kehidupan seorang hamba dalam hidupnya ini di dunia dan juga kelak di akhirat. Sebagaimana seorang hamba, dia tidak akan baik untuk kehidupan akhiratnya melainkan dengan mengikuti risalah, yaitu risalah Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Sebagaimana juga seorang hamba, dia tidak akan baik dalam kehidupan dunianya, melainkan dengan ittiba’ risalah. Sesungguhnya manusia sangat membutuhkan agama ini, karena dia hidup di antara dua gerak; (yaitu) gerak yang mendatangkan manfaat baginya dan gerak yang dapat menolak bahaya baginya.
Adapun syar’iat itu, adalah cahaya yang dapat menjelaskan apa-apa yang bermanfaat baginya dan apa-apa yang berbahaya. Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam untuk menjelaskan apa-apa yang bermanfaat bagi manusia, dan menjelaskan pula tentang apa yang berbahaya. Dan syari’at ini adalah cahaya Allâh Ta'âla di muka bumi ini, merupakan keadilan Allâh Ta'âla di antara hamba-hambanya, dan benteng Allâh Ta'âla yang sangat kokoh. Barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka dia akan aman.
Yang dimaksud dengan syari’at ini, bukan hanya sekedar membedakan yang bahaya dan manfaat dengan perasaan. Sebab kalau hanya dengan perasaan, maka hewan pun bisa membedakannya, keledai dan unta pun bisa membedakannya. Bahkan unta dapat membedakan debu dengan tepung. Tetapi yang dimaksud disini, ialah membedakan antara manfaat iman, tauhid, keadilan, kebaikan, jujur, amanah, sabar, amar ma’ruf nahi munkar, silaturahmi, berbuat baik kepada kedua orang tua dan tetangga, memenuhi hak, mengikhlaskan amal semata-mata karena Allâh, tawakal kepadaNya, ridha dengan qadha dan qadharNya, tunduk kepada hakNya, taat kepada perintahNya, loyal kepada wali-wali Allâh Ta'âla dan memusuhi musuh-musuhNya, dan seterusnya.”[5]

Apa yang kalian sembah? Dan bagaimana kalian menjawab seruan atau mengikuti para rasul? Imam Ibnul Qayyim, dalam muqadimmah kitabnya, Zâdul Ma’ad fi Hadyi Khairil ’Ibad,[6] beliau menjelaskan tentang makna dua kalimat syahadat :

yang berarti aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh Ta'âla. Dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menegakkan bumi dan langit, Allâh Ta'âla menciptakan seluruh makhluk dan mengutus seluruh rasul. Dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menurunkan kitab-kitabNya, Allâh Ta'âla menetapkan syariat-syariatNya.

Dan dengan kalimat ini, Allâh Ta'âla menegakkan timbanganNya dan meletakkan semua catatan amal. Dan dengannya manusia digiring ke surga atau ke neraka. Dengan kalimat ini, manusia terbagi menjadi dua. Yaitu mukminin (orang-orang yang beriman) dan kufar (orang-orang yang kafir), orang-orang yang baik dan yang jahat.

Kalimat ini merupakan sumber dari larangan dan perintah, ganjaran dan siksa. Kalimat ini merupakan kalimat yang hak, yang dengannya Allâh Ta'âla menciptakan seluruh makhluk. Dan tentang kalimat inilah (dan kewajibannya terhadap kalimat inilah), manusia akan dihisab. Dengan kalimat ini, kiblat dan agama ini ditegakkan, dihunusnya pedang dan ditegakkannya jihad fi sabilillah. Dan ia merupakan hak Allâh Ta'âla yang wajib dipenuhi oleh seluruh hambaNya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, merupakan kalimat Islam, dan kunci untuk masuk ke surga. Dengan kalimat ini, seluruh makhluk yang pertama dan terakhir akan ditanya oleh Allâh Ta'âla, serta tidak akan bergeser kedua kaki hambaNya pada Hari Kiamat di hadapan Allâh Ta'âla, sehingga dia ditanya oleh Allâh Ta'âla tentang dua masalah :

Pertama, (apa yang kalian sembah?). Kedua, (bagaimana kalian memenuhi panggilan para utusanKu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam))?

Jawaban yang pertama, yaitu dengan mengimani kalimat Lâ ilaha illallâh, dengan mengucapkannya, memahami maknanya dan mengamalkannya. Jawaban yang kedua, yaitu dengan mengimani bahwa Muhammad adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, dengan mengucapkannya dan meyakininya, dengan mentaati dan tunduk kepada beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.

Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam adalah orang yang amanah atas wahyu yang diturunkan Allâh Ta'âla kepadanya. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam adalah seorang yang terbimbing dari seluruh makhluk yang ada. Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sebagai utusan Allâh Ta'âla kepada para hambaNya.

Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa agama yang lurus, dengan manhaj yang lurus, sebagai rahmat bagi sekalian alam, sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa, sebagai hujjah (bukti) kebenaran atas seluruh makhlukNya. Allâh Ta'âla mengutus beliau shallallâhu 'alaihi wasallam ketika terjadi masa kekosongan para Rasul. Allâh Ta'âla tunjuki dengannya jalan yang paling lurus, dan jalan yang paling jelas. Allâh Ta'âla wajibkan atas seluruh hambaNya untuk mentaati, menolong, membantu, menghormati, mencintai beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dan menegakkan hak-hak atas beliau shallallâhu 'alaihi wasallam.

Semua jalan akan ditutup oleh Allâh, kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada jalan yang dapat membawa seseorang masuk ke dalam surga, kecuali dengan mengikuti jalan yang ditempuh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Allâh Ta'âla menjadikan kerendahan dan kehinân bagi orang-orang yang menyelisihi jalan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, sebagaimana sabda beliau shallallâhu 'alaihi wasallam:

hadits hadits

Aku diutus dengan pedang di hadapan Kiamat, sehingga Allâh disembah semata,
tidak ada sekutu bagiNya, dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku,
dijadikan kehinân dan kerendahan bagi orang-orang yang menyalahi perintahku.
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.

(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, II/50, 92; sanadnya hasan,
dari sahabat Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu.
Dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Bari, VI/98)

Di dalam muqadimah kitab tersebut (Zadul Ma’ad), Ibnul Qayyim rahimahullâh menjelaskan secara tuntas tentang makna dua kalimat syahadat. Beliau menegaskan, setiap makhluk akan ditanya oleh Allâh Ta'âla tentang dua masalah besar dan penting. Yaitu, apa yang kalian sembah, dan bagaimana kalian memenuhi panggilan para utusanKu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam)?
Disebutkan dalam firman Allâh Ta'âla:

(QS al A’raaf/7 : 6)

Maka sesungguhnya, Kami akan menanyai ummat-ummat
yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka,
dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)

(QS al-A’râf : 6)

Firman Allâh Ta'âla:

(QS al Qashash/28 : 65)

Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allâh menyeru mereka, seraya berkata:
“Bagaimana jawabanmu terhadap seruan para Rasul?”

(QS al-Qashash : 65)

Ayat ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allâh Ta'âla? Apakah kita mentauhidkan Allâh Ta'âla dalam beribadah? Apakah kita mengikhlaskan setiap amal ibadah karenaNya? Hal ini merupakan perkara besar yang akan ditanyakan oleh Allâh kepada seluruh hambaNya. Adapun pertanyân yang kedua, apakah kita ittiba‘ (mengikuti/meneladani) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ataukah tidak? Hal inipun merupakan pertanyaan besar yang akan ditanyakan Allâh Ta'âla kepada seluruh hambaNya pada Hari Kiamat. Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk ittiba‘ kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Billahi taufiq.


[1] Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullâh dalam kitab al-Ushul ats-Tsalatsah tentang makna Muhammadur Rasulullah.
[2] Al-Qaulul Mufiid fi Adillati Tauhid, hlm. 35, oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin ‘Ali al Yamani al Wash-shaabi al ‘Abdali, Cet. VII, Maktabatul Irsyaad- Shan’a, Th. 1422 H.
[3] Syarah Ushul ats-Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid.
[4] Majmu’ Fatâwa (XIX/93).
[5] Majmu’ Fatâwa (XIX/99).
[6]
Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, Tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arna-uth (I/34), Cet. Muassassah ar-Risalah, Th. 1415 H.

(Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X)



- sumber -
 http://majalah-assunnah.com/index.php/kajian/mabhats/255-ittiba-kepada-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam
Read more →

Rabu, 18 Desember 2013

Alasan Terlarangnya Mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim

,
بسم الله الرحمن الرحيم




Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan terpampang tulisan yang dibaca "Merry Christmas", atau yang artinya Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun Baru.

Sebagian orang menganggap ucapan semacam itu tidaklah bermasalah, apalagi yang yang berpendapat demikian adalah mereka orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah yang besar, ketika seorang muslim mengucapkan ucapan selamat terhadap perayaan orang-orang kafir.

Dan ada juga sebagian di antara kaum muslimin, berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir. Dengan alasan toleransi dalam beragama!? Toleransi beragama bukanlah seperti kesabaran yang tidak ada batasnya. Namun toleransi beragama dijunjung tinggi oleh syari’at, asal di dalamnya tidak terdapat penyelisihan syari’at. Bentuk toleransi bisa juga bentuknya adalah membiarkan saja mereka berhari raya tanpa turut serta dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.

Islam mengajarkan kemuliaan dan akhlak-akhlak terpuji. Tidak hanya perlakuan baik terhadap sesama muslim, namun juga kepada orang kafir. Bahkan seorang muslim dianjurkan berbuat baik kepada orang-orang kafir, selama orang-orang kafir tidak memerangi kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." 
(QS. Al-Mumtahanah: 8)

Namun hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menggeneralisir sikap baik yang harus dilakukan oleh seorang muslim kepada orang-orang kafir. Sebagian orang menganggap bahwa mengucapkan ucapan selamat hari natal adalah suatu bentuk perbuatan baik kepada orang-orang nashrani. Namun patut dibedakan antara berbuat baik (ihsan) kepada orang kafir dengan bersikap loyal (wala) kepada orang kafir.

Alasan Terlarangnya Ucapan Selamat Natal 

 

1- Bukanlah perayaan kaum muslimin
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa perayaan bagi kaum muslimin hanya ada 2, yaitu hari ‘Idul fitri dan hari ‘Idul Adha.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata : 'Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri'.” (HR. Ahmad, shahih).

Sebagai muslim yang ta’at, cukuplah petunjuk Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi sebaik-baik petunjuk.

2- Menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal
Ketika ketika mengucapkan selamat atas sesuatu, pada hakekatnya kita memberikan suatu ucapan penghargaan. Misalnya ucapan selamat kepada teman yang telah lulus dari kuliahnya saat di wisuda.

Nah, begitu juga dengan seorang yang muslim mengucapkan selamat natal kepada seorang nashrani. Seakan-akan orang yang mengucapkannya, menyematkan kalimat setuju akan kekufuran mereka. Karena mereka menganggap bahwa hari natal adalah hari kelahiran tuhan mereka, yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihish shalatu wa sallam. Dan mereka menganggap bahwa Nabi ‘Isa adalah tuhan mereka. Bukankah hal ini adalah kekufuran yang sangat jelas dan nyata?

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

"Bagimu agamamu, bagiku agamaku." 
(QS. Al-Kafirun: 6).

3- Merupakan sikap loyal (wala) yang keliru
Loyal (wala) tidaklah sama dengan berbuat baik (ihsan). Wala memiliki arti loyal, menolong, atau memuliakan orang kita cintai, sehingga apabila kita wala terhadap seseorang, akan tumbuh rasa cinta kepada orang tersebut. Oleh karena itu, para kekasih Allah juga disebut dengan wali-wali Allah.

Ketika kita mengucapkan selamat natal, hal itu dapat menumbuhkan rasa cinta kita perlahan-lahan kepada mereka. Mungkin sebagian kita mengingkari, yang diucapkan hanya sekedar di lisan saja. Padahal seorang muslim diperintahkan untuk mengingkari sesembahan-sesembahan oarang kafir.

Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: 'Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja'."  
(QS. Al-Mumtahanah: 4)

4- Nabi melarang mendahului ucapan salam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

"Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat)." (HR. Muslim no. 2167)

Ucapan selamat natal termasuk di dalam larangan hadits ini.

5- Menyerupai orang kafir
Tidak samar lagi, bahwa sebagian kaum muslimin turut berpartisipasi dalam perayaan natal. Lihat saja ketika di pasar-pasar, di jalan-jalan, dan pusat perbelanjaan. Sebagian dari kaum muslimin ada yang berpakaian dengan pakaian khas perayaan natal. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum  muslimin untuk menyerupai kaum kafir.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Pembicaraan Kelahiran Isa dalam al-Qur’an

 

Bacalah kutipan ayat di bawah ini. Allah Ta’ala berfirman,

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25)

"Maka Maryam mengandungnya, lalu ia mengasingkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.’ Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: 'Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu'." 
(QS. Maryam: 22-25)

Kutipan ayat di atas menunjukkan bahwa Maryam mengandung Nabi ‘Isa ‘alahis salam pada saat kurma sedang berbuah. Dan musim saat kurma berbuah adalah musim panas. Jadi selama ini natal yang diidetikkan dengan musim dingin (winter), adalah suatu hal yang keliru.

Penutup


Ketahuilah wahai kaum muslimin, perkara yang remeh bisa menjadi perkara yang besar jika kita tidak mengetahuinya. Mengucapkan selamat pada suatu perayaan yang bukan berasal dari Islam saja terlarang (semisal ucapan selamat ulang tahun), bagaimana lagi mengucapkan selamat kepada perayaan orang kafir? Tentu lebih-lebih lagi terlarangnya.

Meskipun ucapan selamat hanyalah sebuah ucapan yang ringan, namun menjadi masalah yang berat dalam hal aqidah. Terlebih lagi, jika ada di antara kaum muslimin yang membantu perayaan natal. Misalnya dengan membantu menyebarkan ucapan selamat hari natal, boleh jadi berupa spanduk, baliho, atau yang lebih parah lagi memakai pakaian khas acara natal (santa klaus, pent.)

Allah Ta’ala telah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." 
(QS. Al-Maidah: 2)


Wallahu waliyyut taufiq.



- sumber -
http://muslim.or.id/aqidah/alasan-terlarangnya-mengucapkan-selamat-natal-bagi-muslim.html
Read more →

.: Share This :.